Senin 08 Jul 2019 17:12 WIB

Pemberontak Kongo Didakwa Lakukan Kejahatan Perang

Pemimpin pemberontak Kongo dituduh mengawasi pembantaian warga sipil.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Terduga penjahat perang Kongo Bosco Ntaganda.
Foto: telegraph
Terduga penjahat perang Kongo Bosco Ntaganda.

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Jaksa Mahkamah Pidana Internasonal (ICC) mendakwa mantan pemimpin pemberontak Kongo Bosco Ntaganda melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan. Dia diduga mendalangi pembantaian serta menggunakan anak-anak sebagai anggota pasukannya. 

Ntaganda, yang memiliki julukan "Terminator" dituduh mengawasi pembantaian warga sipil oleh pasukannya di Republik Demokratik Kongo, tepatnya di wilayah Ituri, pada 2002 dan 2003. Jaksa menggambarkannya sebagai pemimpin pemberontak etnis Tutsi yang kejam pasca-peristiwa genosida di Rwanda tahun 1994. 

Baca Juga

Menurut jaksa penuntut ICC, Ntaganda adalah figur sentral untuk perencanaan dan pelaksanaan operasi Union of Conglose Patriots dan sayap militernya, the Patriotic Forces for the Liberation of Congo (FPLC). Jaksa mengungkapkan, FPLC sedikitnya telah membunuh 800 orang saat bertempur melawan kelompok milisi Kongo lainnya di Ituri. 

Ntaganda kemudian menjadi anggota pendiri kelompok pemberontak M23. Kelompok tersebut berhasil ditumpas pasukan Kongo pada 2013. Di tahun yang sama, Ntaganda menyerahkan diri ke Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Rwanda. Dia kemudian meminta dikirim ke pengadilan ICC di Belanda. 

Ntaganda merupakan tersangka pertama yang menyerahkan diri secara sukarela. Kendati demikian, selama persidangan, dia membantah tudingan yang dilayangkan kepadanya. Ia menolak disebut penjahat. "Saya seorang revolusioner, tapi bukan penjahat," katanya dalam persidangan tahun lalu, seperti dilaporkan Aljazirah.

Ia pun menolak julukan Terminator yang disematkan padanya. Menurutnya, julukan itu tak berlaku baginya. ICC dijadwalkan mengumumkan vonis tentang apakah Bosco bersalah atau bersalah tanpa keraguan pada Senin (8/7).

Lebih dari 60 ribu orang telah terbunuh sejak kekerasan meletus di Ituri pada 1999. Beberapa kelompok milisi di sana terlibat pertempuran dengan tujuan menguasai wilayah yang kaya sumber daya mineral tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement