REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kementerian Luar Negeri China mengatakan surat yang ditandatangani 22 negara di Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah 'mengabaikan fakta' dan memfitnah China. Menurut China, surat itu sebagai intervensi urusan domestik mereka dan politisasi hak asasi manusia.
"China sangat tidak senang dan menentang hal ini, kami sudah mengajukan pernyataan keras ke negara-negara terkait," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, seperti dilansir dari Sky News, Kamis (11/7).
Sebelumnya diberitakan 22 negara menyerukan agar China melepaskan etnis Uighur yang ditahan di Xinjiang. Teguran itu menjadi langkah gabungan pertama di Dewan Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) dalam isu Xinjiang.
Surat yang ditujukan kepada ketua forum OHCHR yang bertanggal 8 Juli itu ditandatangani 22 negara. Australia, Kanada, dan Jepang bersama negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Swiss menjadi penandatangan surat tersebut.
Tapi Amerika Serikat (AS) yang keluar dari OHCHR tahun lalu tidak ikut menandatanganinya. Sementara Indonesia belum dapat menandatangani surat apa pun di OHCRC. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizah mengatakan ia belum mengetahui tentang hal itu.
"Saya belum tahu, nanti saya cari tahu," kata Teuku.
Teuke mengatakan Indonesia baru mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM PBB pada periode 2020-2022. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi anggota Dewan HAM sebanyak 4 kali, yaitu pada tahun 2006-2007 (sebagai pendiri); 2007-2010; 2011-2014; dan 2015-2017.
Surat teguran 22 negara itu tidak memenuhi syarat untuk dibacakan di Dewan HAM PBB atau menjadi resolusi yang akan diputuskan melalui pemungutan suara, sesuatu yang diinginkan para aktivis. Para diplomat di Dewan HAM PBB mengatakan ada kekhawatiran jika itu dilakukan maka memicu serangan balik melalui sektor politik maupun ekonomi dari China. Salah satu diplomat negara Barat yang tidak disebutkan namanya mengatakan itu adalah langkah gabungan pertama untuk merespons Xinjiang.
Pakar PBB dan aktivis mengatakan setidaknya ada 1 juta orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang ditahan di wilayah terpencil sebelah barat China. Beijing mengaku pusat penahanan tersebut sebagai fasilitas vokasi untuk menghalau ekstremisme.
"Ini langkah formal karena ini akan dipublikasikan sebagai dokumen resmi OHCHR, itu menjadi sinyal," kata diplomat lainnya.
Surat itu menyuarakan keprihatinan atas laporan tentang penangkapan yang tidak sesuai dengan hukum. Mereka prihatin atas pengawasan dan pembatasan yang menargetkan warga Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang.
Surat itu mengutip dengan tajam kewajiban China sebagai anggota forum 47 negara mempertahankan standar tertinggi. Para penandatangan meminta China untuk mengikuti hukum nasional, kewajiban internasional dan menghargai hak asasi manusia, serta kebebasan fundamentalnya.
"Termasuk kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan di Xinjiang dan di seluruh China," kata surat tersebut.
"Kami juga menyerukan China untuk menahan diri dari penahanan sewenang-wenang dan membatasi kebebasan pergerakan warga Uighur dan Muslim serta komunitas minoritas lainnya di Xinjiang," kata para penandatangan di surat tersebut.
Surat itu juga mendesak China untuk memberikan pakar indendepen termasuk Kepala Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet 'akses berarti' ke Xinjiang. Mantan presiden Cile tersebut mendesak China untuk memberikan akses kepada PBB melakukan investigasi atas laporan penghilangan dan penahanan sewenang-wenang terhadap muslim di Xinjiang.