REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat, Donald Trump melakukan pertemuan bersama 27 korban penganiayaan atas nama agama dari sejumlah negara di Gedung Putih, Kamis (18/7). Sebanyak empat orang di antaranya berasal dari Cina yang merupakan etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
Seperti dilansir Reuters, pertemuan tersebut digelar sesuai prinsip kebijakan luar negeri AS yang menganut kebebasan beragama. Pertemuan tersebut juga menjadi bagian dari konferensi yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri. Konferensi turut dihadiri Wakil Presiden AS, Mike Pence dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo.
Salah satu Muslim Uighur yang hadir dalam pertemuan tersebut bernama Jewher Ilham. Kepada Trump, Ilham bercerita bahwa Pemerintah Cina menjatuhkan hukum penjara seumur hidup terhadap ayahnya pada 2014 silam. Ayah Ilham merupakan seorang profesor ekonomi sekaligus advokat hak-hak asasi manusia bagi Uighur.
Tragedi tersebut lantas mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi internasional, termasuk Amerika Serikat. Pertemuan Trump bersama etnis Uighur pada Rabu kemarin juga bersamaan dengan adanya desakan negara-negara di Dewan Hak Asasi Manusia PBB kepada Cina untuk menghentikan penganiayaan terhadap Uighur.
Selain bertemu dengan etnis Uighur, Trump juga bertemu dengan korban penganiayaan atas nama agama dari Myanmar, Turki, Korea Utara, dan Iran. Selain Jewher Ilham, ada juga seorang praktisi Falun Gong bernama Yuhua Zhang, seorang Budha dari Tibet Nyima Lhamo, serta seorang kristen Manping Ouyang.
Selain itu, ada pula warga kristen dari Myanmar, Vietnam, Korea Utara, Iran, Turki, Kuba, Eritrea, Nigeria dan Sudan. Juga terdapat warga Muslim dari Afghanistan, Sudan, Pakistan, dan Selandia Baru. Selain itu, turut hadir warga Yahudi dari Yaman dan Jerman, praktisi Cao Dai dari Vietnam, serta seorang Yezidi dari Irak.
Sementara itu Duta Besar Trump untuk Kebebasan Beragama, Sam Brownback, mengatakan, pertemuan yang digelar tersebut akan menghasilkan suatu langkah yang diambil Pemerintha AS. "Pemerintah akan mengumumkan langkah-langkah tambahan tentang kebebasan beragama dalam Konferensi Kementerian Luar Negeri pada hari Kamis (19/7)," ujarnya.
Seperti diketahui, hubungan antara AS-Cina beberapa bulan terakhir mengalami ketegangan akibat adanya perang dagang yang ketat. AS menuduh Cina terlibat dalam praktik perdagangan yang tidak adil. Pada Mei lalu, pemerintah AS bahkan tengah mempertimbangkan sanksi pada perusahaan China Hikvsion.
Pemerintah AS juga kini mempertimbangkan sanksi terhadap pejabat Cina atas kebijakan mereka di Xinjiang yang merugikan etnis Uighur. Termasuk, Ketua Partai Komunis di Cina yang bernama Chen Quango.