REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Dalam sebuah dokumen yang dipublikasikan Pemerintah Cina disebutkan wilayah Xinjiang yang di barat laut negara itu tidak terpisahkan dengan Cina. Walaupun ada upaya dari para ekstremis untuk mendistorsi sejarah dan fakta demi memecah belah Cina.
Dalam dokumen yang dipublikasikan Dewan Informasi Negara pada Senin (22/7), Pemerintah Cina mengatakan bahwa salah untuk menyatakan warga minoritas Muslim Uighur di Xinjiang sebagai keturunan masyarakat Turki. Menurut mereka pernyataan itu alat politik kelompok pan-Turki dan pan-Islam.
"Musuh di dalam dan di luar Cina, terutama para separatis, ekstremis agama dan teroris, mencoba memecah belah Cina dan menghancurkannya dengan mendistorsi sejarah dan fakta," kata pemerintah Cina dalam dokumen tersebut.
Beijing telah dituduh melakukan persekusi terhadap sejuta orang Uighur. Diyakini setidaknya 1 juta orang ditahan di sebuah kamp yang menurut Pemerintah Cina sebagai pusat vokasi yang bertujuan untuk mengadang penyebaran ekstremisme Islam.
Pada Kamis (18/7) pekan lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo menamakan perlakuan Cina terhadap minoritas Uighur itu sebagai 'aib abad ini'. Pemerintah Cina mengatakan, Xinjiang bagian dari Cina sejak Dinasti Han pada abad ketiga.
Masyarakat dan etnis budaya yang ada di sana terbentuk dari proses panjang imigrasi dan integrasi. Menurut pemerintah Cina dalam dokumen tersebut Islam bukan agama atau kepercayaan asli warga Uighur.
Namun, Islam Uighur hasil dari ekspansi kerajaan Arab. Menurut pemerintah Cina 'teokrasi' serta 'supremasi agama' adalah pengkhianatan yang harus dilawan.
"Pasukan asing musuh dan separatis, ekstremis agama dan pasukan teroris yang berkolusi mendistorsi sejarah, akan disingkirkan sejarah dan rakyatnya," kata Pemerintah Cina.