Senin 22 Jul 2019 09:18 WIB

Hong Kong Kembali Diguncang Protes

Mereka menuntut pemilu langsung dan investigasi atas tindakan aparat polisi.

Polisi Anti Huru Hara menembakkan gas air mata kepada demonstran yang melakukan kampanye di Hong Kong, Ahad (21/7)
Foto: Jerome Favre/EPA
Polisi Anti Huru Hara menembakkan gas air mata kepada demonstran yang melakukan kampanye di Hong Kong, Ahad (21/7)

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Gelombang aksi protes terhadap penolakan rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi kembali digelar di Hong Kong, Ahad (21/7). Mereka juga menuntut pemilihan umum (pemilu) langsung dan investigasi independen terhadap tindakan yang dilakukan polisi dalam unjuk rasa sebelumnya.

"Bebaskan Hong Kong! Demokrasi sekarang juga!" teriak massa sambil berjalan kaki. Mereka berjalan dari Victoria Park ke Wan Chai. Umumnya, mereka berbaju hitam. Mereka membawa sebuah spanduk besar bertuliskan, "Penyelidikan independen demi penegakan hukum".

Pada siang hari yang terik itu, sekitar 10 ribu orang berkumpul untuk melakukan demonstrasi meski polisi memerintahkan mereka untuk membubarkan diri. Tapi, sebagian besar terus berjalan kaki ke pusat kota, di lokasi aksi duduk Umbrella Movement pada 2014. Aparat kepolisian tampak berjaga ketat di sekitar lokasi aksi protes, termasuk di kompleks pemerintahan.

Sementara, beberapa ruas jalan utama telah ditutup. Pada Ahad pagi ratusan orang telah memulai aksi protes di dekat kompleks pemerintahan di pusat kota.

Sebelumnya, pada Sabtu (20/7) lalu polisi menemukan dua kilogram bahan peledak dengan daya ledak yang kuat, triacetone triperoxide atau TATP, bom bensin, asam, pisau, dan batang logam. Selain itu, polisi juga menemukan spanduk yang bertuliskan antiekstradisi di tempat tersebut.

Sementara, pada Jumat (19/7) malam, polisi menyita gudang bahan peledak dan senjata di sebuah bangunan industri di distrik New Territories, Tsuen Wan. Tiga orang ditangkap sehubungan dengan penyitaan tersebut.

Polisi menggambarkan, penyitaan ini merupakan yang terbesar di Hong Kong. Tapi, polisi tidak menyebutkan apakah penyitaan bahan peledak dan senjata itu ada kaitannya dengan aksi protes.

Akhir pekan lalu, unjuk rasa yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan antara polisi dan aktivis. Bentrokan ini mengakibatkan sejumlah orang mengalami luka-luka dan lebih dari 40 orang ditangkap.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah meminta maaf atas kekacauan yang disebabkan oleh RUU ekstradisi. Lam telah menangguhkan RUU tersebut tanpa batas waktu dan menyatakan bahwa RUU itu telah 'mati'.

Namun, upaya Lam tidak membuat para pengunjuk rasa dan aktivis merasa puas. Mereka tetap menginginkan agar RUU ekstradisi dicabut secara penuh dan Lam mundur dari jabatannya.

Para aktivis telah bersumpah untuk melanjutkan aksi protes sampai Lam memenuhi tuntutan utama mereka, termasuk penarikan permanen RUU tersebut, dan reformasi demokrasi untuk mengadakan pemilihan langsung. Aksi protes dan long march pada Ahad rencananya berakhir di pengadilan tinggi untuk menyampaikan tuntutan mengenai penyelidikan kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada para pengunjuk rasa.

Wakil Ketua Front Hak Asasi Manusia Sipil (CHRF) Bonnie Leung mengatakan, aksi protes kali ini dapat membawa perubahan. Dia berharap, aksi kali ini dapat diikuti oleh peserta yang lebih banyak dari aksi-aksi sebelumnya.

"Karena pemerintah Carrie Lam tidak menunjukkan tindakan atau ketulusan nyata untuk menanggapi tuntutan kami dan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi terus berlanjut, kami mengharapkan partisipasi yang besar," ujar Leung dilansir the Guardian.

Sebuah komentar dalam surat kabar Partai Komunis Cina, People's Daily, menyatakan, jika aksi protes terus berlanjut maka akan memberikan pukulan yang lebih besar bagi kemakmuran dan stabilitas Hong Kong.

photo
Pengunjuk rasa Hong Kong bergerak mundur saat ditekan polisi dalam protes menentang RUU ekstradisi di Hong Kong, Ahad (7/7).

Sebelumnya, para pejabat telah memperingatkan dampak aksi protes berkepan jangan terhadap perekonomian Hong Kong. Sebab, aksi protes tersebut turut melumpuhkan bagian distrik keuangan, menutup kantor pemerintah, dan mengganggu operasi bisnis di seluruh kota.

Sementara itu, editorial berbahasa Inggris yang dikelola pemerintah Cina, Global Times, menyatakan, Cina tidak akan membiarkan ekstremis dan kekuatan eksternal untuk menjatuhkan sistem hukum Hong Kong dan mendorong kota ke dalam lingkaran setan.

"Jika Hong Kong kehilangan aturan hukumnya dan menjadi medan pertempuran politik, ia akan memiliki masa depan yang tidak pasti. Itu bertentangan dengan keinginan warga Hong Kong, dan Cina tidak akan membiarkan itu terjadi," tulis editorial Global Times. (rizky jaramaya/reuters/ap ed:yeyen rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement