REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Hong Kong menyatakan menangguhkan perjanjian ekstradisi dan pakta tentang bantuan hukum timbal balik dengan Belanda dan Irlandia. Hal ini seiring meningkatnya pertengkaran diplomatik usai keluarnya undang-undang keamanan nasional baru.
Dilansir kantor berita Bernama pada Ahad (15/11), kabar itu muncul beberapa pekan setelah Belanda dan Irlandia bergabung dengan Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jerman, dan Finlandia dalam menangguhkan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong menyusul penerapan undang-undang tersebut. Para pengkritik menghukum apa yang secara luas didefinisikan China sebagai pemisahan diri, subversi, terorisme dan kolusi dengan pasukan asing hingga seumur hidup di penjara.
Negara-negara barat khawatir undang-undang itu akan digunakan untuk menginjak-injak kebebasan di bekas koloni Inggris itu. Kritikus juga menyatakan keprihatinan bahwa mereka yang melanggar hukum dapat diadili di China dimana pengadilan dikontrol ketat oleh Partai Komunis.
Dalam sebuah pernyataan, pemerintah Hong Kong mengatakan langkah Belanda dan Irlandia untuk menangguhkan perjanjian ekstradisi dengan kota semi-otonom itu adalah campur tangan terbuka dalam urusan dalam negeri China. Hong Kong juga menganggapnya pelanggaran hukum internasional dan norma dasar yang mengatur hubungan internasional.
Pihak berwenang di China mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk memastikan stabilitas dan kemakmuran Hong Kong setelah setahun protes anti-pemerintah yang menjerumuskan kota yang diperintah China itu ke dalam krisis terbesarnya dalam beberapa dekade.
Sebelumnya pada pekan lalu, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada empat pejabat China di pemerintahan dan lembaga keamanan Hong Kong. Sanksi itu dijatuhkan atas dugaan peran mereka dalam menghancurkan perbedaan pendapat di pusat keuangan global. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan sanksi itu atas peran mereka dalam menerapkan undang-undang keamanan nasional, yang mulai berlaku pada 30 Juni.