Pemerintah Cina mengklaim warga Uighur di Xinjiang dulunya dipaksa masuk Islam padahal telah menjadi bagian integral dari Cina selama ribuan tahun. Klaim ini dinilai sebagai pembenaran tindakan kontroversial Cina terhadap etnis minoritas tersebut.
Perlakuan Terhadap Uighur:
- Cina berusaha untuk membenarkan perlakuan mereka terhadap warga Uighur, yang dikecam sebagai "genosida budaya"
- Beijing membalas "standar ganda" dari negara Barat dan membela upaya "antiterorisme" yang mereka lakukan
- Laporan yang dirilis Cina dinilai sebagai perang informasi yang sedang berlangsung terkait etnis minoritas
Laporan yang dirilis hari Ahad (21/7/2019) oleh Departemen Informasi yang merupakan kepanjangan tangan propaganda Pemerintah Cina menyajikan interpretasi versi Partai Komunis terhadap sejarah Uighur. Laporan itu mengklaim "Islam bukanlah sistem kepercayaan asli atau tunggal dari masyarakat Uighur".
Dikatakan, Islam disebarkan ke Xinjiang oleh "Kekaisaran Arab" dan orang-orang Turki Uighur "mengalami perbudakan di tangan orang Turki".
"Perpindahan agama ke Islam bukanlah pilihan sukarela yang dilakukan oleh warga, tetapi hasil dari perang agama dan pemaksaan oleh kelas yang berkuasa," kata laporan itu, seraya menambahkan Pemerintah Cina tetap menghormati "hak kaum Muslim atas agama mereka".
Lebih dari satu juta warga Uighur, Kazakh dan etnis minoritas Muslim lainnya ditahan dalam fasilitas yang disebut Partai Komunis sebagai pusat pendidikan kejuruan. PBB menyebut fasilitas itu sebagai "kamp pendidikan ulang".
Mereka yang tinggal di luar kamp juga menjadi sasaran pengawasan, karena Beijing ingin "memberi karakter Cina terhadap Islam". Kebijakan garis keras China disebut pengamat sebagai "pembantaian budaya" terhadap kelompok minoritas etnis Turki.
Laporan Beijing ini dirilis sebagai kampanye melawan kritikan internasional terhadap perlakuan keras Cina terhadap warga Uighur, dengan dalih sebagai tindakan "anti-terorisme" terhadap separatis Uighur dan Muslim ekstremis.
"Saya tak berpikir siapapun di luar Cina, yang mengikuti apa yang terjadi di Xinjiang, akan tertipu oleh laporan ini," ujar Elaine Pearson, Direktur Human Rights Watch Australia kepada ABC. "Laporan ini merupakan distorsi fakta yang aneh dan mencolok," katanya.
James Leibold, pakar Uighur dan etnis minoritas Cina pada Universitas La Trobe, menilai laporan itu sebagai "contoh klasik dari perang informasi yang sedang berlangsung di Cina. "Seperti propaganda manapun, laporan itu dipenuhi dengan klaim kebenaran sepihak," katanya.
Media berbahasa Inggris yang dikelola Pemerintah Cina, Global Times, memuji laporan itu, dengan mengatakan "orang baik bisa membedakan antara yang benar dan yang salah. "Para penghasut yang jahat diharapkan akan membungkam mulut mereka," tulis harian itu.
Etnis Uighur Turki diklaim sebagai warga Cina
Warga Uighur sebagian besar adalah minoritas berbahasa Turki yang memiliki lebih banyak kesamaan bahasa dan budaya dengan orang Turki daripada dengan mayoritas etnis Han di Cina.
Sejarawan percaya bahwa bagian dari wilayah Xinjiang telah disebut sebagai Turkistan sejak era abad pertengahan.
Namun, menurut versi Pemerintah Cina, wilayah itu "telah lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Cina" dan tak pernah menjadi Turkistan Timur. Leibold mengatakan klaim Cina itu "jelas tidak benar".
"Ada dua republik independent-semu yang diciptakan pada awal abad ke-20 yang secara eksplisit mengambil nama Turkestan Timur."
Laporan Beijing mengklaim bahwa "sejak awal", budaya Uighur "mencerminkan unsur-unsur budaya Cina" dan merupakan bagian integral dari peradaban Cina.
"Bodoh untuk berbicara tentang keberadaan negara Cina yang bersatu 5.000 atau bahkan 3.000 tahun lalu untuk mencakup apa yang sekarang menjadi Xinjiang dan orang-orang Uighur," kata Leibold, menambahkan bahwa klaim tentang kebebasan beragama di Xinjiang "menggelikan".
"Xinjiang selalu menjunjung tinggi kesetaraan untuk semua agama," kata laporan itu. Tetapi tindakan keras Partai Komunis terhadap Muslim dan komunitas agama lain termasuk Kristen dan Falun Gong telah didokumentasikan dengan baik.
Sebuah laporan dari Amnesty International pada tahun 2018 mengklaim ekspresi publik di Xinjiang sekarang dianggap "ekstremis" oleh pihak berwenang, termasuk menumbuhkan janggut, berdoa atau berpuasa selama bulan suci Ramadhan.
"Kami telah melihat banyak cara di mana identitas Uighur telah ditekan dalam beberapa tahun terakhir," kata Pearson, seraya mencatat bahwa China juga telah melarang nama-nama yang dianggap terlalu Islami.
Penahanan massal dikritik Barat
Australia telah menyatakan kritik atas perlakuan Cina terhadap warga Uyghur, dan baru-baru ini bergabung dengan 21 negara lain di Dewan HAM PBB termasuk Inggris, Kanada dan Jerman dalam mendesak China untuk mengakhiri penahanannya terhadap etnis Uyghur.
Awal bulan ini, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, menyebut perlakuan Cina terhadap Muslim di Xinjiang sebagai "salah satu krisis hak asasi manusia terburuk di zaman kita" dan "noda abad ini".
Laporan Cina mengkritik negara-negara yang tak disebutkan namanya, yang dianggap "menerapkan standar ganda untuk terorisme dan hak asasi manusia serta telah mengeluarkan kritik yang tak bisa dibenarkan atas upaya Xinjiang."
"Kritik semacam ini mengkhianati hati nurani dan keadilan dasar kemanusiaan, dan akan ditolak oleh para pencari keadilan," tambahnya.
Sebanyak 35 negara termasuk Arab Saudi, Rusia, dan Korea Utara, baru-baru ini menuduh negara Barat "mempolitisasi isu HAM" atas warga Uighur dan memuji apa yang disebut mereka sebagai "prestasi luar biasa" China dalam masalah HAM.
Puluhan warga Australia terperangkap oleh penindasan China terhadap warga Muslim di Xinjiang, banyak di antaranya memiliki anggota keluarga yang ditahan di sana.
Investigasi oleh program Four Corners ABC pekan lalu mengungkap upaya China melakukan genosida budaya terhadap warga Uighur, termasuk skema kerja paksa untuk memproduksi kapas yang dibeli oleh produsen pakaian di negara Barat.
Juga ditemukan bahwa beberapa universitas Australia terkait dengan teknologi pengintaian yang digunakan terhadap orang Uighur.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.