Dua Puluh Satu Tahun pasca reformasi, minoritas Tionghoa di Indonesia masih saja mendapat pandangan buruk dari berbagai pihak, utamanya mayoritas Muslim. Beberapa stigma tentang etnis ini disebut menjadi penyebab. Tapi menurut para peneliti, persoalan minoritas di Indonesia tak hanya berhenti di etnis Tionghoa.
Poin utama:
- Dua puluh satu tahun pasca reformasi, minoritas Tionghoa di Indonesia masih menerima sentimen negatif
- Sentimen anti-Tionghoa yang berkobar selama Pilkada DKI menunjukkan bagaimana persepsi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia tak banyak berubah
- Kelompok mayoritas Indonesia, disebut Sidney Jones, tak ingin memahami prinsip dasar kesetaraan hak politik dalam demokrasi
Sebanyak 36 persen Muslim Indonesia di tahun 2018 beranggapan bahwa minoritas Tionghoa hanya peduli terhadap sesama etnisnya. Tiga puluh tiga persen dari kelompok yang sama juga percaya bahwa budaya Tionghoa tak sejalan dengan budaya yang ada di Indonesia.
Ada juga yang beranggapan kalau minoritas Tionghoa masih setia terhadap negara leluhurnya, yakni China. Jumlah kelompok ini mencapai 32 persen.
Sementara 35 persen lainnya menganggap minoritas etnis Tionghoa berkarakter serakah dan ambisius.
Stigma-stigma yang diangkat dalam buku Contentious Belonging: The Place of Minorities in Indonesia itulah yang dirasakan Komang Arianti (38), warga Jakarta berdarah Bali-Tionghoa, sebagai penyebab bullying atau perisakan yang dialaminya selama ini.
Berayahkan pria Bali asli, Komang kecil yang tinggal di Surabaya tak pernah merasa bahwa ia berbeda dari teman-temannya. Sampai pada suatu masa di bangku sekolah dasar, sebuah kejadian mengusik jati dirinya.
"Waktu kelas 5 atau 6 gitu, pulang sekolah jalan kaki lalu ada tukang becak lewat...dia berhenti terus ngatain 'Cina silit! Cina jancuk!'"
Komang awalnya mengaku bingung diolok-olok dengan sebutan kasar itu.
"Karena saya tahunya saya Bali, pribumi, cuma kulitnya kuning."
"Tapi sejak itu jadi ngobrol dengan teman keturunan Tionghoa lainnya, terus baru tahu kalau ada nama Cina dan mesti urus SBKRI segala."
Ia-pun lantas menginterogasi sang ibu, mempertanyakan asal-usulnya.
"Saya tanya ibu, 'jadi aku ini apa, pribumi atau keturunan? kalau ditanya di sekolah atau urus-urus surat aku mesti jawab apa?'," ceritanya kepada ABC.
Kejadian itu nyata berimbas besar terhadap kepercayaan diri Komang. Ia menuturkan dirinya mengalami krisis identitas.
"Sejak kejadian itu, saya main sepeda dari jam 2 sampe Maghrib supaya kulit jadi hitam biar enggak dikatain Cina lagi."
"Saya bingung mengindentifikasi diri saya itu sebagai apa."
Perempuan mantan jurnalis ini masih mengalami perisakan terhadap identitasnya hingga baru-baru ini.
"Waktu itu saya pulang naik taksi ke rumah. Pas lagi bayar di pintu tol, taksi saya dihantam sebuah mobil, yang ternyata dikemudikan ibu-ibu."
"Setelah itu saya ikut turun sama sopir taksi untuk minta pertanggungjawaban si penabrak."
Terdorong rasa iba, ia berusaha menjadi penengah di antara penabrak dan sopir, yang keberatan atas jumlah uang ganti rugi.
"Eh si ibu-ibu malah ngamuk dan bilang ke saya 'dasar Cina...sudah sana duduk diam di dalam taksi, ngapain ikut campur?. Kere cuma bisanya naik taksi, minta-minta saya ganti rugi ke supir taksi ini. Sudah Cina diem aja!'," kisah Komang.
Dalam Contentious Belonging yang baru saja diluncurkan di Jakarta pekan lalu, sentimen negatif yang dialami Komang disebut bersumber dari kebencian zaman kolonialisme yang dibawa hingga masa kini.
Bahkan hingga kasus Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta.
Sebagian besar responden survei yang diungkap buku tersebut menyalahkan etnis Tionghoa sendiri atas ketidakmampuan mereka untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia.
Uniknya, studi yang diungkap buku editan akademisi Universitas Nasional Australia (ANU) -Greg Fealy dan Ronit Ricci -ini menunjukkan bahwa sebenarnya sebelum kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok, survei menunjukkan tingkat intolerasi di Indonesia tengah menurun, dan justru meningkat setelah kasus itu muncul dan disusul dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 (Pilkada DKI).
Stigma yang sulit berubah
Dalam bab Anti-Chinese Sentiment: And the Return of the Pribumi discourse di buku itu, Charlotte Setijadi mengatakan setelah adanya kasus Ahok, sentimen anti-Tionghoa bisa cepat mereda dan secepat itu pula muncul.
Sentimen anti-Tionghoa yang berkobar selama Pilkada DKI menunjukkan bagaimana persepsi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia tak banyak berubah, terlepas dari reformasi dua dekade terakhir.
Warga keturunan Tionghoa, sebut Charlotte, masih menjadi kambing hitam jika terjadi ketidakstabilan politik dan ekonomi.
Konservatisme Islam yang meningkat dan ketimpangan sosial-ekonomi juga ditudingnya memperuncing jurang perbedaan antara etnis Tionghoa dan warga Indonesia lainnya, dan ini, sekali lagi, membuat minoritas Tionghoa kembali menjadi target kemarahan dan frustasi massa.
Persoalan minoritas lebih luas
Berbicara dalam peluncuran Contentious Belonging di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta (31/7/2019) pekan lalu, Burhanuddin Muhtadi, salah seorang penulis bab, mengatakan warga non-Muslim di Indonesia lebih toleran ketimbang mayoritas Muslim.
Di sisi lain, hasil survei yang dilakukan dari tahun 2010 hingga 2018 juga mengungkap fakta menarik mengenai Muslim Indonesia.
"Muslim Indonesia yang merasa mereka adalah mayoritas ternyata lebih tidak toleran dibanding Muslim yang merasa mereka sebagai minoritas," sebut Burhan.
Mengutip studi di tahun 2018, ia mengatakan bahwa bukan intoleransi yang menyulut mobilisasi Muslim dalam aksi unjuk rasa berjilid, tapi mobilisasi itulah yang justru memproduksi intoleransi.
Terlepas dari hal itu, persoalan minoritas di Indonesia nyatanya lebih luas dan kompleks.
Dalam bab Reflections on Contentious Belonging di buku yang sama, pakar terorisme Sidney Jones mengatakan konteks mayoritas-minoritas di Indonesia bisa berubah bergantung pada rezim politik yang berkuasa.
Ia bahkan merujuk istilah mayoritas kepada kelompok aktivis yang secara publik mengadopsi sikap politik bahwa mereka mewakili mayoritas dan bahwa pandangan mereka seharusnya dibenarkan.
Sidney mencontohkan sikap Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di era 90an yang mengusung konsep 'demokrasi proporsional' di mana pembagian kerja dalam pemerintahan seharusnya berdasarkan agama, menurut proporsi jumlah pemeluk agama dalam populasi.
Ia juga mengangkat gerakan 212 yang menuntut agar kelompok mayoritas-lah yang seharusnya memimpin di Indonesia.
Bagi Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) Jakarta ini, kelompok mayoritas Indonesia tak ingin memahami bahwa prinsip dasar demokrasi sebenarnya adalah kesetaraan politik dan keadilan bagi semua, yang artinya kesetaraan hak bagi siapa saja terlepas dari ras, agama, etnis ataupun orientasi seksual mereka.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.