REPUBLIKA.CO.ID, KINSHASA — Dua obat ekperimental untuk ebola yang diuji coba di Kongo dilaporkan bekerja sangat baik untuk menyelamatkan hidup dari orang yang terinfeksi virus tersebut. Sejumlah pakar kesehatan mengatakan bahwa akan bersiap untuk memberikan obat tersebut kepada para pasien yang ada di negara Afrika itu.
Obat-obatan untuk ebola itu telah diuji klinis selama hampir sembilan bulan. Selama ini, orang-orang yang terinfeksi virus tersebut sering dianggap terkena hukuman mati. Karenanya, penemuan obat seperti itu dianggap sebagai sebuah keajaiban.
"Ini adalah contoh pertama bahwa intervensi terapeutik dapat memiliki efek dramatis pada penurunan kematian penyakit virus Ebola," ujar Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular, dalam sebuah wawancara dilansir SMH.com, Selasa (13/8).
Seorang dokter di Kongo yang juga menghabiskan pekerjaannya untuk meneliti pengobatan untuk ebola, Jean-Jacques Muyembe Tamfum mengaku tak pernah membayangkan bahwa hari seperti ini akan datang. Ia sangat antusias dengan kenyataan bahwa ebola kini dapat disembuhkan.
“Mulai sekarang tidak akan lagi ada yang mengatakan bahwa ebola tidak dapat disembuhkan,” ujar Tamfum.
Meski demikian, para ahli mengatakan terapi medis tidak dapat sepenuhnya efektif di wilayah konflik. Sejauh ini, ebola telah menginfeksi hampir 2.800 orang di Kongo dan membuat 1.900 diantaranya kehilangan nyawa sejak mewabah pada tahun lalu. Bulan lalu, Organisasi Kesehatan DUnia (WHO) menetapkan status ebola di Kongo sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional.
Terapi pengobatan untuk ebola diuji coba dengan melibatkan beberapa obat dan dilakukan secara acak, namun terkontrol sejak November 2018. Para peneliti saat ini telah memberikan satu dari empat obat kepada 681 pasien yang telah berpartisipasi dalam penelitian pada pekan lalu.
Ketika sebuah kelompok pemantau menentukan bahwa dua di antara obat-obatan itu jauh lebih baik dari yang lain, berdasarkan data dari 499 pasien, para ilmuwan mengatakan mereka akan secara eksklusif mengobati pasien ebola dengan obat-obatan yang lebih efektif di masa depan.
Dua obat berbasis antibodi, REGN-EB3 dan mAb-114 adalah obat paling efektif yang bekerja dengan memblokir protein penting dalam virus ebola.
Menurut data awal dari percobaan, setidaknya sekitar 90 persen pasien dengan tingkat infeksi yang rendah berhasil diselamatkan dengan obat-obatan tersebut. Di semua tingkat infeksi, pasien yang menerima REGN-EB3 memiliki tingkat kematian 29 persen, sementara mereka yang diobati dengan mAb-114 memiliki tingkat kematian 34 persen.
WHO telah mengatakan tingkat kematian rata-rata untuk ebola adalah sekitar 50 persen. Angka tersebut cukup jauh di bawah dua obat lainnya, termasuk ZMapp, yang pertama kali diuji pada wabah ebola di Afrika Barat pada 2014 dan para ilmuwan memutuskan untuk mengakhiri uji coba obat tersebut lebih awal. Saat ini, semua pasien Ebola akan menerima salah satu dari dua obat yang lebih efektif.
"Ini menggarisbawahi pentingnya melakukan uji coba secara acak dan terkontrol. Anda bisa mendapatkan informasi yang sehat secara etis dan ilmiah. Sekarang Anda bisa mendapatkan antibodi terbaik dengan cepat untuk orang-orang yang membutuhkannya,” kata Fauci.
Penanganan ebola di Kongo dilaporkan mengalami keterlambatan karena penduduk di sejumlah daerah yang tidak mempercaya petugas kesehatan. Bahkan, Tedros Ghebreyesus, direktur jenderal WHO melaporkan pada bulan lalu bahwa lebih dari 200 petugas kesehatan diserang beberapa harus kehilangan nyawa sejak Januari.
Ebola merupakan virus yang dapat menginfeksi manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi, diantaranya adalah simpanse, kelelawar, dan kijang. Virus cepat dapat menyebar, bahkan jika sempat melakukan kontak dengan sedikit cairan tubuh orang atau hewan yang terinfeksi. Selain itu, orang-orang dapat tertular secara tidak langsung melalui kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi.
Pada awalnya, mereka yang terinfeksi ebola akan mengalami demam, kelelahan hebat, hingga nyeri otot, dan sakit tenggorokan. Setelah itu, muntah-muntah, diare, hingga pendarahan dapat terjadi. Kebanyakan pasien yang terjangkit virus tersebut meninggal akibat dehindrasi dan kegagalan fungsi organ dalam tubuh.