REPUBLIKA.CO.ID, ASTANA -- Seorang aktivis hak asasi manusia di Kazakhstan, Serikzhan Bilash menghadapi hukuman tujuh tahun penjara atas aktivismenya membela minoritas Muslim dan Turki di wilayah Xinjiang, Cina. Namun secara tak terduga dibebaskan pada Jumat (16/8) ketika tekanan publik, dan internasional atas kasusnya meningkat.
Bilash mengatakan, dia melakukan tawar-menawar dengan pengadilan, yang mengizinkannya bebas, tetapi akan mengakhiri kegiatannya.
"Saya harus mengakhiri aktivisme saya melawan Cina. Itu atau tujuh tahun penjara. Saya tidak punya pilihan," kata Bilash di sebuah restoran tempat ia mengadakan pesta perayaan tengah malam bersama keluarganya dan sekitar 40 pendukung, dilansir Guardian, Sabtu (17/8).
Bilash setuju untuk menerima kesalahan atas tuduhan penghasutan antar etnis, yang dipicu oleh seruannya terhadap pemerintah Cina atas kebijakan mereka di Xinjiang awal tahun ini. Ia juga tidak akan dapat meninggalkan kota Almaty, yang terbesar di Kazakhstan untuk tiga bulan ke depan berdasarkan ketentuan perjanjiannya.
Ia berharap para pendukungnya akan melanjutkan pekerjaan kelompok aktivis Atajurt informalnya ke depan. "Saya harus melakukan ini untuk keluarga dan anak-anak saya," katanya kepada para pendukung.
Pembebasannya mengakhiri malam dramatis di Almaty, di mana sekitar 200 ratus pendukung mengepung pengadilan tempat Bilash muncul dan meneriakkan kebebasannya. Pengacaranya, Aiman Umarova, telah menyalakan peringatan pada malam sebelumnya, karena dia tidak dapat melakukan kontak dengan Bilash.
Umarova menolak untuk menandatangani tawaran pembelaan, ia bersikeras bahwa kliennya tidak bersalah. Artinya, Bilash harus mencari pengacara lain untuk menandatangani perjanjian.
"Saya menolak untuk menaruh nama saya pada kesepakatan yang ditandatangani di bawah tekanan," kata Umarova.
Bilash sebelumnya ditahan di bawah tahanan rumah setelah ditahan dan diterbangkan ke ibu kota, Nur-Sultan, pada Maret. Para kritikus menghubungkan penangkapannya dengan tekanan dari, Cina.
Diperkirakan satu juta etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya diperkirakan telah dikirim ke pusat pendidikan kejuruan di Xingjiang. Menurut sejumlah penelitian, dan laporan dikatakan sebagai kamp interniran yang keras.
Pada Juli, pejabat Cina mengklaim sebagian besar orang yang dikirim ke pusat penahanan di Xinjiang telah kembali ke masyarakat. Akan tetapi departemen luar negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan tidak ada bukti yang mendukung hal ini. Dengan populasi setidaknya 1,5 juta, orang Kazakhstan adalah kelompok Turki terbesar kedua di Xinjiang setelah Uighur.
Kementerian luar negeri Kazakhstan telah terlibat dalam diplomasi dengan mitra dagang utama Cina di Xinjiang. Namun enggan untuk mempromosikan upayanya mengingat sensitivitas terhadap wilayah tersebut.
Tahun lalu kementerian mengatakan Cina telah mengizinkan 2.500 etnis Kazakhstan meninggalkan negara itu, dan memasuki Kazakhstan sebagai isyarat yang baik. Akan tetapi menolak permintaan informasi lebih lanjut.