Ahad 25 Aug 2019 16:29 WIB

Australia akan Blokir Internet Saat Terjadi Serangan Teror

Pemblokiran internet untuk menyetop penyebaran konten teror ke masyarakat luas.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Australia.
Foto: abc
Bendera Australia.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pemerintah Australia Scott Morrison mengatakan akan memblokir akses ke domain internet saat terjadi serangan teror di negaranya. Hal itu dilakukan agar konten-konten teror tak tersebar luas di masyarakat.

Morrison mengungkapkan pemerintahannya hendak mencegah ekstermis mengeksploitasi platform digital untuk mengunggah konten yang memuat kekejaman dan kekerasan. "Kami melakukan segala yang kami bisa untuk menyangkal peluang teroris mengglorifikasi kejahatan mereka," ujarnya dalam sebuah pernyataan, Ahad (25/8).

Baca Juga

Australia alan membangun kerangka kerja guna memblokir domain yang menampung materi atau konten kekerasan dan kekejaman. Australia's eSafety Commissioner akan menentukan berdasarkan kasus per kasus tentang apa yang harus disensor. Dalam proses ini, mereka bekerja sama dengan perusahaan terkait agar pemblokiran dapat dengan cepat dilakukan.

Selain kekerasan ekstremis, domain yang menampung konten pembunuhan, percobaan pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, dan penyiksaan juga akan diblokir. Menurut Morrison, saat ini dia juga sedang mempertimbangkan untuk menerbitkan undang-undang yang akan memaksa pengelola platform digital meningkatkan keamanan layanan mereka.

Australia tidak merinci opsi legislatif apa yang akan digunakan jika platform digital gagal meningkatkan keamanan. Perusahaan seperti Facebook, Youtube, Amazon, Microsoft, dan Twitter, diharapkan memberikan rincian kepada Pemerintah Australia tentang bagaimana mereka akan melaksanakan rekomendasi.

Perusahaan-perusahaan tersebut diketahui merupakan anggota dari The Taskforce to Combat Terrorist and Extreme Violent Material Online. Mereka telah merekomendasikan kerangka kerja yang jelas.

Australia dan Selandia Baru diketahui telah meningkatkan pengawasan terhadap situs dan perusahaan media sosial. Hal itu dilakukan pasca terjadinya aksi penembakan brutal terhadap jamaah di dua masjid Christchurch pada Maret lalu. Insiden itu menyebabkan 51 orang tewas.

Saat serangan berlangsung, pelaku penembakan menyiarkan aksi biadabnya secara langsung melalui Facebook. Cuplikan-cuplikan konten itu pun akhirnya beredar luas di media sosial.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement