Rabu 28 Aug 2019 20:02 WIB

Permintaan Penangguhan Parlemen Inggris Dikritik

Penangguhan parlemen dinilai langgar terhadap proses demokrasi Inggris.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Indira Rezkisari
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson saat berpidato di Manchester, Inggris, Sabtu (27/7).
Foto: AP Photo/Rui Vieira
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson saat berpidato di Manchester, Inggris, Sabtu (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah meminta Ratu Elizabeth II menangguhkan atau menskors parlemen, Rabu (28/8). Hal itu dia lakukan untuk mencegah Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) tanpa kesepakatan. Tindakan Johnson namun menuai kritik.

Dalam surat yang ditulisnya kepada parlemen, Johnson memaparkan rencananya. "Akan ada program legislatif Brexit yang signifikan untuk dilalui, tapi itu seharusnya tak ada alasan untuk kurangnya ambisi," kata dia, seperti dilaporkan BBC.

Baca Juga

Johnson meminta parlemen menunjukkan persatuan dan ketetapan hati menjelang 31 Oktober, yakni batas waktu Inggris hengkang dari Uni Eropa (UE). Dengan demikian pemerintah memiliki peluang untuk mengamankan kesepakatan baru dengan UE.

"Sementara itu pemerintah akan mengambil pendekatan yang bertanggung jawab untuk melanjutkan persiapannya meninggalkan UE, dengan atau tanpa kesepakatan," ujar Johnson.

Dia menyangkal bahwa penangguhan parlemen dimotivasi agar Brexit berjalan tanpa kesepakatan. Menurutnya masih akan ada cukup waktu bagi anggota parlemen untuk memperdebatkan kepergian Inggris.

"Kita membutuhkan undang-undang baru. Kita harus mengajukan rancangan undang-undang baru serta penting dan itulah mengapa kita akan memiliki Queen's Speech (Pidato Ratu)," katanya.

Johnson mengungkapkan Queen's Speech akan berlangsung setelah skors, yakni pada 14 Oktober. Parlemen biasanya ditangguhkan untuk periode singkat sebelum sesi baru dimulai. Hal itu dilakukan oleh ratu atas saran perdana menteri.

Ketika parlemen ditangguhkan, perdebatan dan pemungutan suara ditiadakan. Sebagian besar undang-undang yang masih digodok atau belum diratifikasi juga akan gugur.

Oleh sebab itu gagasan Johnson menskors parlemen memicu kontroversi. Banyak tokoh dan politikus Inggris yang mengkritik serta mengecam langkahnya.

Ketua House of Commons John Bercow menilai penangguhan parlemen adalah "kemarahan konstitusional". "Sangat jelas bahwa tujuan (penangguhan parlemen) sekarang adalah untuk menghentikan (anggota parlemen) berdebat Brexit dan melakukan tugasnya dalam membentuk arah untuk negara," ujarnya.

Dia menilai penangguhan parlemen merupakan pelanggaran terhadap proses demokrasi dan hak-hak anggota parlemen sebagai wakil rakyat terpilih. "Tentunya pada tahap awal dalam kepemimpinan ini, perdana menteri harus berusaha untuk membangun daripada merusak mandat demokrasinya dan tentu saja komitmennya terhadap demokrasi parlementer," kata Bercow.

Pemimpin Liberal Democrats Jo Swinson mengatakan penskorsan parlemen adalah tindakan berbahaya dan tak dapat diterima. "Menangguhkan parlemen akan menjadi tindakan pengecut dari Boris Johnson. Dia tahu orang-orang tidak akan memilih (Brexit) tanpa kesepakatan dan bahwa perwakilan terpilih tidak akan mengizinkannya. Dia berusaha untuk menahan suara mereka," ujarnya.

Pendukung senior Tory, Dominic Grieve menyebut langkah Johnson sebagai tindakan keterlaluan. Dia berpendapat hal itu dapat mengarah pada mosi tidak percaya terhadap Johnson. "Pemerintahan ini akan turun," katanya.

Johnson memang membawa Inggris keluar dari UE dengan kesepakatan. Namun dia enggan melewatkan tenggat waktu pada 31 Oktober. Johnson bersedia Brexit tanpa kesepakatan daripada harus melewati batas waktu.

Posisi itu telah mendorong sejumlah anggota parlemen oposisi menghalangi kemungkinan Brexit tanpa kesepakatan. Mereka menilai hal itu dapat menjadi bencana ekonomi bagi Inggris. Pada Selasa lalu, mereka yang menentang Brexit tanpa kesepakatan mengatakan akan menggunakan proses parlementer untuk melakukannya.

Di bawah Brexit tanpa kesepakatan, tidak akan ada waktu untuk membawa kesepakatan perdagangan antara Inggris dan UE. Perdagangan pada awalnya harus berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Jika itu terjadi, tarif pajak atas impor akan berlaku untuk sebagian besar barang yang dikirim oleh perusahaan Inggris ke UE. Sejumlah perusahaan Inggris khawatir hal tersebut akan membuat produk mereka kurang kompetitif, dilansir dari Reuters.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement