REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Serangan terhadap dua fasilitas minyak Arab Saudi menyebabkan lonjakan harga minyak terbesar sejak 1991. Serangan tersebut juga memangkas 5 persen dari pasokan minyak mentah global.
Lonjakan harga minyak mentah juga terjadi setelah pejabat Amerika serikat (AS) menuduh Iran berada di balik serangan akhir pekan lalu itu, disusul pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut negaranya siap siaga melakukan pembalasan atas serangan tersebut.
Serangan menggunakan drone alias pesawat nirawak itu terjadi pada Sabtu (14/9) dini hari. Kilang minyak yang menjadi sasaran adalah milik Aramco dan berlokasi di Abqaif (7 juta barel per hari) dan Khurais (1,5 juta barel per hari). Serangan itu memicu kebakaran hebat dan menghentikan setengah pasokan minyak Saudi.
Arab Saudi bukan hanya pengekspor minyak terbesar di dunia. Saudi memiliki peran unik di pasar sebagai satu-satunya negara yang dapat menambah atau mengurangi produksinya hingga jutaan barel per hari untuk menjaga pasar tetap stabil.
Pejabat AS yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengatakan, terdapat 19 titik dampak dalam serangan itu dan bukti menunjukkan, daerah peluncuran berada di barat-barat laut dari target, bukan selatan atau Yaman. Pejabat itu mengatakan, pejabat Saudi telah melihat tanda-tanda bahwa rudal jelajah digunakan dalam serangan itu.
Dalam sebuah pernyataan singkat di al-Masirah, stasiun televisi Yaman yang dikuasai kelompok Houthi, juru bicara juru bicara kelompok itu, Yahia Sarie, mengatakan bahwa kelompoknya meluncurkan 10 drone setelah menerima dukungan intelijen dari dalam Arab Saudi. Ia memperingatkan, serangan akan semakin memburuk jika perang terus berlanjut.
Koalisi negara-negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi dan didukung Amerika Serikat melancarkan perang di Yaman sejak tahun 2015. Arab Saudi ingin mengembalikan pemerintahan yang diakui masyarakat internasional setelah pemberontak Houthi merebut Ibu Kota Sana’a pada 2014. Saudi dan AS kerap menuding Iran berada di balik kelompok Houthi.
Reuters melansir pada Senin (16/9), dua narasumber anonim dari Saudi menjelaskan tentang operasi perusahaan minyak milik negara Saudi, Aramco. Mereka mengatakan, dalam memulihkan fasilitas yang hancur, negara memerlukan waktu berbulan-bulan agar produksi minyak Saudi kembali normal.
Pada perdagangan pagi hari kemarin, financial times melansir bahwa harga minyak mentah Brent sempat melonjak sebesar 20 persen mendekati 72 dolar AS per barel. Sementara, pada siang hari, lonjakan harga itu menurun jadi 9,2 persen atau 65,72 dolar AS per barel. Lonjakan harga kemarin pagi adalah yang terbesar sejak invasi Irak 1991 ke Kuwait yang memicu Perang Teluk.
Harga sempat mereda setelah Trump mengumumkan bahwa dia akan mengizinkan menggunakan pasokan minyak darurat AS. Menurut dia harga juga dipicu oleh produsen di seluruh dunia yang mengatakan ada cukup kesediaan minyak yang disimpan untuk menebus kekurangan akibat serangan di Saudi.
"Kami menunggu untuk mendengar dari Kerajaan Saudi siapa yang mereka yakini sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan, di bawah pesyaratan seperti apa kami akan meresponsnya," ujar Trump dalam cicitan resmi //Twitter//-nya, Ahad sore waktu AS.
Sejauh ini, Iran dengan tegas membantah keterlibatan dalam serangan kilang minyak. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi menyebut tuduhan AS mengenai keterlibatan Iran dalam serangan Sabtu sangat tidak dapat diterima dan sepenuhnya tidak berdasar.
Aramco, yang bersiap-siap untuk IPO terbesar di dunia, belum memberikan batas waktu untuk memulai kembali pasokan yang hancur akibat serangan. Riyadh mengatakan akan mengompensasi dengan menarik stok, yang mencapai 188 juta barel pada Juni.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menyampaikan, serangan pada kilang minyak milik Saudi Aramco di Arab Saudi tidak berdampak signifikan pada ekspor minyak mentah ke Indonesia. Djoko mengatakan, impor minyak mentah dari Arab Saudi hanya sekitar 110 ribu barel per hari (bph).
"Tidak terganggu. Kan impor kita dari sana itu cuma 110 ribu bph, produksi Saudi Aramco 13,6 juta bph," ujar Djoko di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (19/9).
Djoko yakin Saudi Aramco tetap memenuhi komitmennya dalam mengekspor minyak mentah ke negara yang sudah menjalani kontrak, termasuk Indonesia. \"Logikanya, produksi dari fasilitas yang terganggu otomatis dihentikan, namun komitmen (ekspor) tetap harus dipenuhi," ucap Djoko.
Pemerintah, lanjut Djoko, juga sedang menyiapkan pengamanan pasokan minyak di dalam negeri sebagai langkah antisipasi. Djoko menyebut pemerintah berencana membeli minyak perdana bagian dari Exxon Mobil di Blok Cepu sebesar 600 ribu barel pada 20 September 2019 mendatang. "Kalau nanti ada gangguan, kita akan beli minyak dari Exxon Mobil di Cepu. Di situ ada bagian Exxon, nanti kita beli minyaknya Exxon kalau itu terganggu," kata Djoko.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto juga menilai apa yang terjadi di Arab Saudi tidak berpengaruh signifikan terhadap ekspor minyak mentah ke Indonesia. "Kalau impor kan sudah komitmen tertentu, saya kira tidak ada masalah. Tinggal persoalan terkait harga saja,\" ujar Dwi.
Dwi memandang gejolak akibat kejadian di Arab Saudi juga tidak berpengaruh besar terhadap kenaikan harga minyak dunia. Menurut Dwi, kenaikan harga minyak dunia akibat gejolak politik di Timur Tengah tidak akan bertahan lama. "Ini kan kebakaran dari fasilitas penyimpanan. Kalau diperbaiki, akan kembali normal. Kalau dilihat dari kenaikan juga tidak banyak," ucap Dwi. n reuters ed: fitriyan zamzami