Senin 21 Oct 2019 15:45 WIB

Beli Apartemen di Australia Seperti Beli Kucing Dalam Karung

Jumlah apartemen alami oversupply yang signifikan dan melebihi permintaan pasar.

Red:
.
.

Nilai apartemen di Australia telah jatuh dibandingkan harganya saat pertama kali dibeli, terutama untuk apartemen yang dibeli saat belum dibangun, atau 'off-plan'.

  • Setengah apartemen yang baru dibangun di Sydney dan Melbourne alami penurunan harga dibanding saat beli
  • Sepertiga dari apartemen baru'off-plan' in Sydney mengalami penurunan setidaknya 10 persen
  • Pasokan apoartemen tinggi telah melampaui dari jumlah permintaan sebenarnya

 

60 persen apartemen 'off-plan' di Sydney dan 52,9 persen di Melbourne telah jatuh nilainya dibandingkan dengan harganya saat kontrak jual beli disepakati, seperti yang dilaporkan program televisi 7.30 dari ABC.

Berdasarkan data properti dari CoreLogic, nilai apartemen baru di Sydney turun sampai 15 persen, di Melbourne penurunan mencapai 11 persen dari harganya saat dibeli. Sementara penurunan di Queensland sebesar lebih dari 43 persen dari 22,5 persen di Australia Barat.

Tim Lawless, Kepala Peneliti CoreLogic mengatakan jumlah apartemen telah mengalami 'oversupply' yang signifikan dan melebihi dari permintaan pasar.

Namun jatuhnya nilai apartemen baru menurutnya lebih disebabkan karena kekhawatiran soal kualitas bangunan dan struktur bagian luar bangunan yang mudah terbakar.

"Ini sepertinya dipertimbangkan warga dan berpotensi mempengaruhi nilai properti saat dijual kembali," kata Tim.

Pembeli dari Indonesia rugi sekitar Rp 1 Miliar

 

Widya, warga Indonesia di Melbourne dan tidak ingin nama lengkapnya disebutkan, mengaku kepada ABC Indonesia jika ia "kapok" untuk membeli apartemen lagi di Australia. Ia pernah memiliki sebuah apartemen di kota Melbourne, tapi setelah empat tahun, ia memutuskan untuk menjualnya.

"Baru setahun lebih tinggal, banyak kerusakan di unit, yang paling sering bocor, entah dari kamar mandi di atas yang bocor ke unit kita, atau sebalkinya," ujar Widya yang bekerja di industri keuangan.

Akibatnya biaya asuransi untuk seluruh bangunan meningkat dan berdampak pada iuran tahunan, atau 'body corporate fee' yang meningkat hingga dua kali lipat.

Di tahun pertama ia setidaknya harus mengeluarkan 2.000 dolar Australia atau lebih dari Rp 20 juta per tahun untuk body corporate fee ini. Setelah hampir empat tahun menjadi angkanya melonjak jadi 4.000 dolar Australia atau lebih dari Rp 40 juta per tahun.

Tak hanya itu, Widya yang tadinya ingin menjadikan unitnya sebagai investasi malah mengalami kerugian, "bukannya balik modal". "Harganya waktu beli 420 ribu dolar Australia [lebih dari Rp 4 miliar], dijual 320 ribu dolar Australia [sekitar Rp 3 miliar], jadi rugi 100 ribu dolar Australia [sekitar Rp 1 miliar]."

"Membeli apartemen baru yang off-plan di Australia itu seperti beli kucing dalam karung," kata Widya.

Meski saat itu memiliki kesepakatan untuk inspeksi sebelum melunasi pembayaran, tetap saja banyak yang tidak diketahui seperti apa kualitas material di tempat yang tersembunyi.

"Saya setuju dengan laporan itu [data CoreLogic] karena banyak pengembang di Australia yang pakai material kurang berkualitas," ujarnya yang sekarang lebih memilih menyewa apartemen.

Laporan soal jatuhnya nilai apartemen baru bisa disimak di program 7.30 malam ini di ABC TV dan laporannya dalam bahasa Inggris dibaca disini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement