REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pada 23 Oktober 1983, markas militer Amerika Serikat dan Prancis di ibu kota Lebanon, Beirut diserang dengan bom. Setidaknya 146 militer Amerika Serikat (AS) dan 27 prajurit Prancis tewas dalam serangan bom bunuh diri tersebut.
Dilansir BBC History, dua truk berisi 1,4 ton bom meledak ketika keduanya menghantam gedung markas Tim Batalyon Pendaratan AS dan pangkalan pasukan payung Prancis yang keduanya berjarak enam kilometer. Korban tewas diprediksi bertambah menjadi lebih dari 200 orang, sebab masih banyak yang terjebak di antara reruntuhan gedung,
Dua pelaku bom bunuh diri tewas. Mereka diidentifikasikan sebagi Abu Mazan (26 tahun) dan Abu Sijaan (24 tahun). Mereka dilaporkan adalah anggota kelompok yang sebelumnya tidak dikenal bernama Gerakan Revolusi Islam Merdeka.
Kelompok tersebut terdiri atas Muslim Syiah Lebanon yang merupakan bagian dari faksi ekstremis milisi Amal yang bermarkas di Lebanon sebelah timur yang diduduki Suriah. Menteri Pertahanan AS kala itu, Caaspar Weiberger menegaskan ada bukti yang kuat bahwa Iran berada di balik serangan tersebut. Namun, pihaknya juga tidak membantah kemungkinan keterlibatan Suriah dan Soviet.
Dia juga menegaskan kembali janji Presiden Reagan bahwa AS tidak akan memindahkan pasukannya dari Beirut. "Tujuan kami di Lebanon tetap sama dan komitmen kami tetap tidak berubah meskipun ada tragedi mengerikan ini," kata Weiberger.
Presiden AS Reagan mengutuk keras serangan tersebut. "Tidak ada kata-kata yang dapat dengan tepat mengekspresikan kemarahan kami, dan saya pikir kemarahan semua orang Amerika atas tindakan tercela ini," kata Reagen kala itu.
Pasukan AS telah berada di Lebanon sejak Agustus 1982 untuk bertindak sebagai pasukan penjaga perdamaian antara faksi kelompok Kristen dan Muslim yang bertikai. Pada 12 Oktober 1983, Pasukan Multinasional dalam resolusi Lebanon ditandatangani untuk mengizinkan pasukan AS, Prancis, dan Italia tetap berada di Beirut dan membantu mengawasi proses rekonsiliasi di wilayah tersebut.