REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Boris Johnson akan membatalkan rencana mengadakan pemilihan cepat. Keputusan ini akan diambil jika parlemen memberikan suara untuk menurunkan usia pemilih atau memungkinkan warga Uni Eropa memilih.
Juru bicara Johnson menyatakan, dengan menurunkan usia pemilih dan melibatkan warga Uni Eropa berarti akan terjadi penundaan enam bulan. Padahal, 12 Desember dianggap waktu yang paling tepat untuk mengadakan pemilihan umum. Pemerintah akan mempertimbangkan tanggal lain jika diusulkan.
Sebelum ini, parlemen menolak usul Johnson dalam pengajuan pemilihan dalam waktu dekat. Partai Buruh memilih tidak memberikan suara dan dia gagal mencapai mayoritas dua pertiga anggota parlemen yang dibutuhkan untuk pemilihan. Hasilnya adalah 299 suara dengan 70 suara yang menentang.
Johnson diharapkan mendukung rencana Demokrat Liberal untuk mengubah undang-undang guna mengamankan pemilihan awal, meskipun partai-partai belum menyetujui tanggalnya. Demokrat Liberal menginginkan pemilihan 9 Desember ketika siswa masih di universitas, tetapi Partai Konservatif mendukung pemilihan 12 Desember.
Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn menyarankan partainya juga dapat mendukung rencana Demokrat Liberal setelah mendapat tekanan untuk mendukung pemilihan awal. Dia mengatakan, mereka tidak dapat mendukung pemilihan sampai Brexit yang belum sepakat dihapus.
"Kami akan mempertimbangkan dengan cermat setiap undang-undang tentang pemilihan awal," kata Corbyn, dikutip dari The Guardian, Rabu (30/10).
Corbyn menilai, tanggal pemilihan harus ditetapkan dalam undang-undang untuk mencegah Johnson berusaha memindahkannya demi keuntungannya sendiri. Dia lebih setuju pemungutan suara terjadi lebih awal dari 12 Desember, sebelum para siswa menjalani libur musim dingin, sehingga bisa ikut memberikan suaranya.