Sabtu 02 Nov 2019 05:16 WIB

'Dokter dan Insinyur Jadi Sopir Taksi': Perjuangan Migran Baru Mendapatkan Pekerjaan di Australia

Dilahirkan di Irak, dia tinggalkan Mosul ketika jatuh ke tangan kekuasaan ISIS.

Rep: Farz Edraki And Cathy Pryor/ Red:
.
.

Manal Aqrawe adalah seorang dokter yang sudah memiliki pengalaman selama 20 tahun, namun dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Australia, bahkan di bidang bukan kedokteran sekalipun.

Dilahirkan di Irak, dia meninggalkan Mosul ketika kota itu jatuh ke tangan kekuasaan ISIS.

Dia harus kehilangan rumah, pekerjaan, dan 'semua hal yang berharga dari kehidupan sebelumnya' dalam 'bilangan menit'.

Manal sekarang tinggal di Brisbane, dan merasa beruntung karena 'mendapatkan kesempatan menjalani kehidupan yang baik di tempat yang aman."

Namun meski sudah lolos kualifikasi di bidang kedokteran di sin, dia masih kesulitan mendapat pekerjaan di bidang kedokteran di Australia.

"Alasan utamanya karena saya tidak memiliki pengalaman kerja di sini, dan kompetisi yang ketat untuk pekerjaan yang jumlahnya terbatas," kata Manal kepada ABC Radio National.

Walau pernah jadi pengamat di rumah sakit tapi tidak dibayar, Manal sampai sekarang masih berstatus pengangguran dan ingin bekerja di bidang apa saja.

Apa yang dialami orang seperti Manal Aqrawe bukanlah hal yang unik di Australia.

Para migran yang tiba di Australia dan ingin bekerja menghadapi berbagai masalah seperti kualifikasi yang tidak diakui, pekerjaan yang tidak menentu dan kemungkinan dieksploatasi.

Menurut survei ABC Australia Talks National Survey, mengatakan 86 perseng migran baru mencurigai bahwa perusahaan akan berusaha memanfaatkan mereka bila memungkinkan.

Dan 68 persen mengatakan mereka akan lebih puas bila memiliki pekerjaan lebih baik dari sekarang.

Jadi apa halangan terbesar yang dialami para migran baru untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan di Australia?

"Dokter akhirnya jadi sopir taksi"

Mohammad Al-Khafaji, CEO lembaga bernama Federasi Dewan Komunitas Etnis Austalia mengatakan kualifikasi yang diakui di Australia menjadi salah satu alasan paling berat bagi migran untuk mendapatkan kerja di bidang mereka.

"Ada budaya di Australia dimana kualifikasi pendidikan dari negara lain tidak terlalu dianggap," katanya.

"Di Australia, yang sangat dipentingkan adalah pengalaman bekerja di Australia sebelumnya."

Chirag Khunt, tamatan S2 bidang farmasi yang pindah ke Australia dari India di tahun 2011 mengalami hal seperti itu.

"Pertanyaan yang paling susah saya jawab adalah 'apakah kamu pernah memiliki pengalaman kerja di sini sebelumnya. Dan jawabannya adalah tidak," katanya.

 

Dia sekarang sudah mendapatkan pekerjaan di bidangnya bekerja di sebuah perusaahaan farmasi multinasional.

Namun itu tidak didapatkannya dengan mudah.

Ketika pertama kali tiba di Australia melamar pekerjaan merupakan hal 'menantang' karena dia tidak tahu bentuk surat lamaran seperti apa yang harus dibuatnya.

"Saya mulai melamar pekerjaan dengan mengirimkan surat lamaran sebanyak 250 dalam waktu empat sampai lima bulan," katanya.

"Setiap hari saya mendapat email mengatakan lamaran saya tidak berhasil."

Meski saya memiliki pengalaman, pengalaman itu semuanya bekerja di luar Australia."

Al-Khafaji mengatakan hal seperti ini sangat disayangkan karena masih banyaknya lapangan pekerjaan yang kekurangan tenaga.

"Bila kita terus melanjutkan apa yang terjadi sekarang, akan ada banyak orang-orang yang memiliki kualifikasi bagus yang tidak bekerja di bidangnya, padahal mereka seharusnya bisa bekerja," katanya.

"Ini membuat beberapa dokter atau insinyur ini akhirnya menjadi sopir taksi atau Uber."

Perlu ketabahan

Bagi Chiraq Khunt yang berasal dari India, perubahan yang paling susah dilakukanya adalah meningkatkan 'kemampuan bergaul' di di tempat kerja.

"Hal seperti ini yang sulit dimengerti oleh para migran baru, karena mereka pindah dari satu bagian dunia ke bagian dunia lain dengan cara berpikir yang sama."

Datang dari India, dia sudah memiliki kemampuan teknis memadai untuk bekerja.

"Namun ketika harus berbicara dengan orang lain, itu yang menakutkan. Saya tahu banyak soal komputer, namun saya tidak bisa bergaul dengan baik," kata Chiraq.

Migran baru seperti Candida Rego mengatakan membangun jaringan pertemanan merupakan kunci utamanya untuk bekerja dengan baik di Australia.

 

Dia tiba di Darwin dari Dubai dengan visa sponsor dari negara bagian Northern Territory sehingga dia harus tinggal dan bekerja di negara bagian tersebut selama beberapa tahun.

"Secara pribadi, saya melihat banyak keuntungannya, saya mendapat banyak bantuan setibanya saya di Darwin," katanya.

Sudah menguasai bahasa Inggris sejak masih belia membuat banyak hal jadi mudah, karena katanya "komunikasi adalah hal penting ketika kita hendak mencari pekerjaan."

Tetapi tidak itu saja.

"Meski saya mencari pekerjaan, saya juga menggunakan waktu saya untuk berintegrasi dengan komunitas dan belajar budaya setempat."

"Jadi daripada hanya duduk di rumah di depan komputer melamar pekerjaan setiap hari," kata Candida lagi.

Candida ikut kelompok koor dan juga klub bulutangkis, kegiatan informal yang bisa membantu seseorang untuk mendapat teman baru dan akhirnya informasi untuk mendapatkan pekerjaan.

Mohammad Al-Khafaji mendukung kegiatan seperti itu.

 

"Penting sekali bahwa para migran baru ini merasa diterima dan menjadi bagian dari komunitas yang membantu mereka," kata Al-Khafaji.

"Saya ingat ketika kami tiba di Australia, komunitas Irak di Adelaide membantu kami, dan kami merasa seperti di rumah sendiri, karena kami tahu orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang sama, sehingga kami bisa mempercayai mereka, ini sangat membantu."

Dia mengatakan bahwa usaha sekarang menempatkan lebih banyak migran baru di kawasan regional di Australia tidak akan berhasil bila tidak ada investasi yang memadai.

"Yang kita tahu adalah para migran baru ini memiliki ketabahan dan syukur atas kesempatan yang mereka dapatkan, karena mereka tahu bagaimana rasanya tidak mendapat kesempatan."

Bagi Manal Aqrawe perjalanannya untuk mendapatkan pekerjaan terus berlanjut.

Meski merasa frustrasi, dia masih memiliki harapan.

"Saya masih merasa beruntung tinggal di Australia," katanya.

Lihat artikel selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement