Senin 11 Nov 2019 13:24 WIB

Perjalanan Sapi Australia Dari Penggembalaan ke Mangkuk Bakso

Perdagangan sapi Australia ke Indonesia dimulai pada tahun 1980-an.

Rep: Sinéad Mangan/ Red:
.
.

Perdagangan sapi Australia mengalami perubahan signifikan setelah adanya larangan ekspor ke Indonesia di tahun 2011. Delapan tahun berlalu, larangan sudah dicabut, namun dampaknya masih terasa sampai sekarang. Inilah lika-liku sapi Australia dari peternakan hingga ke mangkuk bakso.

Di pasar Kota Bandar Lampung, dua wanita paruh baya tampak sedang ngobrol dengan tukang daging. Mereka menanyakan asal usul daging yang dijual di sana.

Kedua wanita itu, Bu Tutik dan Bu Maryam, ingin memastikan daging yang mereka beli adalah dari sapi Australia. "Daging sapi Australia itu yang terbaik," kata mereka.

 

 

 

Tidak setiap saat mereka belanja daging. Apalagi, harganya saat ini terbilang sangat mahal. Yaitu Rp 120 ribu per kilogram.

Mereka mencari daging ke pasar hari itu karena sedang menyiapkan acara 40 hari meninggalnya ibu mereka. Dalam acara seperti ini, biasanya tuan rumah menyiapkan makanan bagi tamu-tamu yang datang melayat dan mendoakan almarhumah.

Mereka membeli tiga kilo daging yang akan dimasak menjadi rendang untuk disajikan dalam takziah itu. Di bagian lain pasar, para pembeli daging bahkan bisa memesan langsung ke jasa penggilingan untuk dijadikan bakso saat itu juga.

 

 

 

Bakso ini merupakan salah satu jajanan paling populer di Indonesia, yang populeritasnya kira-kira sama dengan jajanan pai daging di Australia.

Di setiap sudut kota, mulai dari gerobak hingga ke restoran-restoran, bakso dijajakan bagi para penggemarnya.

 

Daging sapi Australia pada umumnya berakhir dalam mangkuk-mangkuk bakso tersebut.

Dahulu daging sapi masih dipandang sebagai bahan makanan mewah. Namun sejalan dengan meningkatnya taraf kehidupan warga Indonesia, kebutuhan daging pun mengalami peningkatan.

 

 

 

Perdagangan sapi Australia ke Indonesia dimulai pada tahun 1980-an karena negara ini tidak dapat memproduksi cukup daging sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Indonesia melihat ke selatan, ke Australia, yang peternakannya terkenal dan sapi-sapinya jauh lebih besar daripada sapi lokal.

Salah seorang pedagang sapi yang sudah terlibat sejak era awal yaitu Juan Permata Adoe. Ketika Australia secara sepihak melakukan larangan ekspor sapi, Adoe saat itu jadi salah satu penasehat Pemerintah Indonesia.

 

 

 

Adoe menjelaskan, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, sumber utama protein warga Indonesia adalah daging ayam dan sapi.

"Kami membutuhkan protein. Tidak seperti Amerika misalnya yang saat ini banyak warganya mengalami obesitas," kata Adoe.

"Orang Indonesia masih kurus-kurus," ujarnya

Enam bulan perjalanan

Australia memandang populasi Indonesia sebagai potensi pasar yang besar.

"Jumlah penduduknya sangat besar," ujar pedagang ternak sapi di Australia Utara, Jane Armstrong.

"Saya selalu bingung setiap pergi ke sana. Begitu meninggalkan Kota Darwin dan tiba di sana, suasananya begitu berbeda," katanya.

 

Dalam pandangan dia, wilayah Top End di ujung paling utara Australia, pada dasarnya adalah bagian dari Asia.

"Kami menghasilkan ternak di sini. Ada lahan yang cukup. Jadi sangat cocok," katanya.

Peternakan Beetaloo Station milik Jane di Australia Utara, memelihara sapi-sapi jantan untuk pasar Indonesia.

 

 

 

 

Sapi-sapi yang dibesarkan di Australia Utara sangat populer di Indonesia karena paling toleran terhadap iklim lembab di tempat barunya.

Secara keseluruhan, dibutuhkan waktu hingga enam bulan bagi seekor sapi sejak dari lahan penggembalaan di Australia hingga berada di rumah potong hewan (RPH) di Indonesia.

Setelah berumur 18-24 bulan, anakan sapi pun harus menempuh perjalanan sejauh 750 kilometer dengan truk dari Peternakan Beetaloo ke tempat penampungan di pinggiran Kota Darwin.

Di sini, ternak-ternak itu dikandangkan dan diberi pakan yang diformulasikan secara khusus untuk menambah berat badan selama perjalanan ke Indonesia.

Setelah diangkut ke atas kapal, sapi-sapi itu pun meninggalkan Pelabuhan Darwin untuk selamanya.

Untuk sampai ke Pelabuhan Panjang di Sumatra, pengapalan ternak dari Peternakan Beetaloo ini memerlukan waktu lima hari.

 

Sapi Australia mudah dilacak

Larangan ekspor di tahun 2011 dikeluarkan pemerintah setelah ramainya pemberitaan mengenai penyiksaan sapi-sapi Australia di Indonesia.

Aturan baru pun diterapkan untuk memastikan kesejahteraan hewan yang diekspor dari Australia, ke negara manapun.

Perubahan signifikan terjadi melalui Sistem Jaminan Rantai Pasokan Eksportir atau ESCAS.

Sekarang sapi-sapi Australia dapat dilacak secara individual mulai dari lahan penggembalaannya hingga ke RPH di Indonesia melalui label yang dipasang di telinga sapi yang dilengkapi frekuensi radio.

Hal ini dimaksudkan untuk memastikan ternak tersebut tidak berakhir di RPH yang tak memenuhi standar Australia.

 

 

 

Seorang dokter hewan memeriksa kesejahteraan ternak sebelum meninggalkan Australia, dinaikkan ke kapal, dan ketika diturunkan di pelabuhan di Indonesia.

Untuk mendapatkan izin, para eksportir pun harus dapat menjamin kesejahteraan ternak pada setiap tahapan begitu meninggalkan Australia.

Pada saat kedatangan, ternak dimasukkan ke truk kecil, diparkir di dermaga beton dan dipindahkan ke tempat pemberian pakan, sekitar satu jam perjalanan dari sana.

Seluruh proses ini memakan waktu sekitar 20 jam.

Di tempat tujuan, ternak itu pun diberi molase dan keripik tapioka selama 120 hari hingga cukup gemuk untuk dipotong.

 

Ternak tak stres, dagingnya lebih baik

Manajer salah satu fasilitas penggemukan sapi William Bullo menjelaskan meskipun larangan ekspor di tahun 2011 mengejutkan pihak Indonesia, namun sebagai akibatnya terjadi perubahan positif dalam industri ini.

"Awalnya saya sendiri tak mengerti apa yang terjadi," katanya.

"Sekarang jika Anda tanya apakah kami ingin kembali ke periode sebelum larangan ekspor itu, jawabnya jelas tidak," ujar William.

"Saat ini sudah jauh lebih aman sehingga kualitas ternak pun lebih baik," tambahnya.

 

Dia menjelaskan bahwa karena saat ini ternak-ternak itu tidak lagi stres, sehingga menghasilkan daging yang berkualitas lebih baik.

Pemberitaan ABC melalui program Four Corners saat itu menunjukkan cara pemotongan hewan yang diwarnai dengan penyiksaan.

Setelah tayangan ini, warga turun ke jalan-jalan di berbagai kota Australia, menuntut penghentian ekspor ke Indonesia.

Menurut William, kemarahan orang Australia itu tadinya menimbulkan keheranan di Indonesia.

"Kami memiliki pemahaman sendiri tentang hewan ternak," katanya.

"Orang Indonesia umumnya merawat ternaknya. Bahkan ditempatkan dekat dengan rumah karena sangat dihargai," katanya.

Dia mengakui memang ada sejumlah pihak yang sebelumnya memperlakukan sapi-sapi Australia itu tak sesuai standar.

 

 

Departemen Pertanian Australia menyelidiki 212 pelanggaran aturan dalam industri ternak sejak Februari 2012 lalu.

Ditemukan 26 pelanggaran yang terkait dengan Indonesia.

Beberapa izin ekspor pun telah dibatalkan atau ditangguhkan sementara.

Setelah larangan ekspor itu, perubahan besar diterapkan di semua RPH yang menangani sapi-sapi Australia.

Sapi dipotong tengah malam

Salah seorang pengelola RPH, Tampan Surjarwadi, diwawancarai dalam program ABC tersebut.

RPH miliknya terletak di daerah permukiman di pinggiran Kota Lampung.

Saat malam tiba, tampak sebuah truk pengangkut ternak rumah-rumah penduduk menuju ke RPH itu untuk menurunkan beberapa ekor sapi.

Sapi-sapi ini akan dipotong pada tengah malam untuk dikirim ke pasar daging pada pagi harinya.

 

 

 

Daging yang dijual harus segar karena tidak semua pembeli memiliki kulkas di rumah mereka.

Tata-cara pemotongan hewan di Indonesia umumnya mengikuti aturan hukum Islam.

Yaitu, hewan dipotong searah dengan arah kiblat di Mekah. Saat dipotong, harus dipastikan pisaunya tajam untuk memotong arteri karotid, urat leher dan pipa tenggorokan dalam satu tarikan.

Darah harus benar-benar dikeringkan dari tubuh ternak.

Sebelum aturan ESCAS diterapkan di RPH milik Surjarwadi, kaki-kaki sapi diikat agar tidak bergerak. Setruman penenang sama sekali tidak digunakan.

 

 

 

Praktek memberi setruman penenang banyak digunakan di berbagai negara termasuk Australia. Tujuannya agar hewan tidak akan merasa sakit.

Saat ini, proses pemotongan hewan di RPH milik Surjarwadi melibatkan tiga orang. Satu orang bertugas membawa sapi ke kotak pengekang agar hewan tidak bergerak. Orang kedua menyetrum hewan, dan yang ketiga bertugas sebagai pembaca doa.

"Begitu hewannya pingsan, petugas pertama membuka pintunya dan sapi pun akan tergelincir ke penangkap," katanya.

"Seorang petugas kemudian menyembelih ternak ini sesuai aturan agama Islam," jelas Sujarwadi.

Sejak larangan ekspor itu, setiap rumah potong hewan sekarang diaudit oleh Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pihak Australia.

Kedua belah pihak mengatakan pasar daging Indonesia saat ini sangat sensitif terhadap harga.

Itulah sebabnya harga daging sapi yang tiba-tiba melambung tinggi akibat larangan ekspor itu tidak pernah dilupakan di Indonesia.

 

Seorang konsumen daging sapi, Sean McDougall, yang juga koki di Ritz Carlton Jakarta, biasa melayani acara yang untuk 8.000 orang.

Menurut dia, setelah larangan ekspor itu, harga daging sapi pun meroket.

Dia menjelaskan bagaimana para pemasok daging saat itu "jual mahal" karena langkanya pasokan.

Jane Armstrong sendiri saat itu mengaku tidak percaya dengan keputusan Pemerintah Australia.

"Semua orang kaget. Secara praktis, kontrak-kontrak penjualan ternak kami tidak lagi sebanding dengan harganya. Semuanya terhenti," jelasnya.

Dampaknya masih terasa

Larangan ekspor di tahun 2011 itu dicabut sebulan kemudian. Yaitu, pada 6 Juli 2011.

Menurut Jason Hatchett, Presiden Direktur Elders Indonesia yang merupakan importir terbesar sapi Australia, dia tak kaget dengan dampak yang ditimbulkan oleh keputusan pemerintah itu.

"Sejak larangan itu, kemudian muncullah sistam kuota. Masalah muncul satu per satu," katanya.

 

 

 

Juan Permata Adoe menambahkan, pelarangan ekspor itu juga terjadi bertepatan dengan bulan Ramadhan. Yaitu, di saat konsumen justru sangat membutuhkan daging sapi.

"Sejak larangan ekspor tahun 2011 itu, para politisi (Indonesia) pun menyoroti industri ternak," katanya.

Ujung-ujungnya, Pemerintah Indonesia pun mencari sumber pasokan selain Australia.

Australia sekarang bukan lagi satu-satunya pemasok daging ke Indonesia. Sekitar 30 persen daging impor berasal dari daging kerbau asal India yang lebih murah.

Selain itu, peternak Australia pun kemungkinan menghadapi persaingan ketat dari peternak Brasil.

Presiden Joko Widodo saat pertama kali menjabat berkomitmen agar Indonesia swasembada daging sapi pada tahun 2019.

Sekarang komitmen itu diundur menjadi tahun 2025.

 

Namun ada sikap skeptis terhadap kemampuan Indonesia berswasembada daging sapi.

Mantan Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan negara ini masih akan membutuhkan pasokan ternak yang stabil dari Australia.

"Jika kami di Indonesia tak berhati-hati, saya pikir pasar daging sapi Australia dapat dengan mudah menemukan pelanggan lain di kawasan ini," katanya.

"Saya sangat berharap bahwa kami, para reformis dalam kabinet, akan membuka mata Pemerintah dan publik betapa kami sangat membutuhkan hubungan baik dengan industri ternak Australia," jelasnya.

"Mengingat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pendapatan di Asia Tenggara, China dan Timur Tengah, industri ternak Australia seharusnya tak mengalami kesulitan dalam menemukan pasar selain kami," ujar Thomas Lembong.

Sebelum larangan ekspor itu, 81 persen produksi ternak Australia dikirim ke Indonesia. Pada tahun 2018, angkanya tinggal 53 persen.

Jane Armstrong saat ini pun mulai mengirim lebih banyak ternaknya ke Vietnam.

"Meskipun mereka (Vietnam) ingin membeli daging dan ternak kami, namun mereka (Indonesia) masih berperan penting dalam industri ternak Australia," ujarnya.

  • Reporter: Sinéad Mangan
  • Laporan tambahan: Carmen Brown
  • Terjemahan: Farid M. Ibrahim

    Sinéad Mangan berkunjung ke Indonesia sebagai penerima beasiswa Elizabeth O'Neill, atas dukungan Deplu Australia melalui Australia-Indonesia Institute.

 

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement