Rabu 13 Nov 2019 08:09 WIB

Gambia Laporkan Myanmar ke Mahkamah Internasional PBB

Gambia melaporkan Myanmar telah melakukan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya

Red:
.
.

Gambia melaporkan Myanmar telah melakukan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya ke Mahkamah Internasional Persatuan Bangsa-bangsa (PBB).

Gambia laporkan Myanmar lakukan Genosida:

  • Lebih dari 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah penumpasan tahun 2017
  • Sebuah misi pencarian fakta PBB bulan lalu memperingatkan ada "risiko serius genosida akan berulang"
  • Baik Gambia dan Myanmar adalah penandatangan Konvensi Genosida 1948

 

Mahkamah Internasional (ICJ) yang juga dikenal sebagai Pengadilan Dunia, adalah lembaga hukum utama PBB yang mengadili perselisihan antar negara.

Dalam laporannya, Gambia menuduh Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan di negara bagian Rakhine dan meminta ICJ untuk memerintahkan langkah-langkah yang bersifat segera untuk menghentikan tindakan genosida yang dilakukan Myanmar".

Laporan setebal 46 halaman ini menjadi kasus penuntutan yudisial pertama dari apa yang disebut misi pencarian fakta PBB sebagai kampanye militer sistematis berupa pembunuhan, pemerkosaan berkelompok, pembakaran, dan rencana genosidal terhadap Muslim Rohingya.

Misi pencari fakta PBB ini pada bulan lalu juga menerbitkan peringatan bahwa ada risiko serius genosida itu akan berulang.

Dalam laporan terakhirnya bulan September lalu misi pencari fakta PBB ini bahkan menyebut Myanmar harus bertanggung jawab dalam forum hukum internasional atas dugaan genosida terhadap Rohingya.

Lebih dari 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh menyusul penumpasan militer Myanmar pada 2017 sebagai tanggapan atas serangan pemberontakan.

 

Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha, membantah tuduhan genosida itu dan mengatakan tindakan keras yang dilakukan militernya menargetkan separatis militan di negara bagian Rakhine.

Baik Gambia dan Myanmar adalah negara yang telah menandatangani Konvensi Genosida 1948, yang tidak hanya melarang negara itu melakukan genosida tetapi juga memaksa semua negara yang menandatanganinya untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida.

Menurut aturan ICJ, dalam pelaporan seperti ini, negara anggota yang menandatangani konvensi ini dapat mengambil tindakan terhadap negara-negara anggota lainnya atas dugaan pelanggaran hukum internasional.

Gambia menuduh bahwa kampanye yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya -yang meliputi pembunuhan, menyebabkan kerusakan fisik dan mental yang serius, menimbulkan kondisi yang diperkirakan menyebabkan kehancuran fisik, memaksakan tindakan untuk mencegah kelahiran, dan pemindahan paksa -mencirikan tindakan genosida karena mereka dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok Rohingya secara keseluruhan atau sebagian ".

Laporan itu mengatakan sejumlah satuan di militer Myanmar menjadi "pelaku utama" di balik "kampanye sistematis di Facebook" yang menargetkan Rohingya.

'Dunia tidak harus berdiam diri'

 

Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung Gambia Abubacarr Marie Tambadou mengatakan dia ingin "mengirim pesan yang jelas ke pada Myanmar dan seluruh komunitas internasional bahwa dunia tidak boleh berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa dalam menghadapi kekejaman mengerikan yang terjadi di sekitar kita ".

"Sangat memalukan bagi generasi kita bahwa kita tidak melakukan apa-apa saat berlangsung genosida tepat di depan mata kita sendiri," katanya.

Negara kecil di Afrika Barat, yang mayoritas beragama Islam ini, melaporkan Myanmar dengan didukung oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Dalam tuntutannya, Gambia meminta Mahkamah Internasional melakukan tindakan sementara untuk memastikan Myanmar segera menghentikan kekejaman dan genosida terhadap orang-orang Rohingya.

Firma hukum yang membantu Gambia, Foley Hoag, mengatakan pihaknya memperkirakan sidang pertama atas pelaporan itu akan dilakukan bulan depan.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia yang selama ini mendorong komunitas internasional untuk bertindak atas krisis Rohingya memuji langkah Gambia.

Param-Preet Singh, associate director keadilan internasional di Human Rights Watch, menyebut kasus itu sebagai "perubahan signifikan di PBB" dan meminta negara-negara lain untuk mendukungnya.

Singh mengatakan kepada ABC ini bukan pertama kalinya sebuah negara melaporkan kasus genosida di mahkamah Internasional (ICJ), sebelumnya Bosnia telah mengajukan tuduhan serupa melawan Serbia pada tahun 1993.

Meski demikian tuntutan Gambia ini menjadi yang pertama kalinya sebuah negara yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kejahatan yang terjadi telah melaporkan kasus ini di bawah Konvensi Genosida.

Tuntutan Gambia ini juga menjadi pertama kalinya bahwa pengadilan di Den Haag itu menginvestigasi klaim genosida tanpa mengandalkan temuan dari pengadilan lain.

"Ini juga merupakan pengingat penting bahwa semua negara yang menjadi anggota konvensi genosida memiliki tanggung jawab untuk menegakkannya," katanya.

"Gambia telah menemukan cara untuk membalikkan sikap komunitas internasional terhadap Rohingya menjadi sebuah tindakan."

Meski ICJ tak memiliki kewenangan untuk menegakkan putusannya, menentang keputusan mahkamah itu dapat semakin merusak reputasi internasional Myanmar.

Tapi Param-Preet Singh, associate director keadilan internasional di Human Rights Watch, mengatakan apapun bentuk perintah dari Mahkamah Internasional dapat memberi tekanan signifikan terhadap Myanmar untuk "menyediakan reparasi bagi para korban genosida yang merupakan warga Rohingya".

Bulan lalu, Duta Besar Myanmar untuk PBB, Hau Do Suan, menyebut misi pencarian fakta PBB bersifat "sepihak" dan berdasarkan pada "informasi yang menyesatkan dan sumber-sumber sekunder".

Dia mengatakan pemerintah Myanmar mengambil tanggung jawab serius dan pelaku semua pelanggaran hak asasi manusia yang "menyebabkan arus besar pengungsi ke Bangladesh harus dimintai pertanggungjawaban".

 

Tetapi bagi Yasmin Ullah, seorang aktivis Rohingya yang berbasis di Kanada, langkah Gambia adalah langkah penting yang mengakui penderitaan etnisnya.

"Sangat penting bagi kami untuk merasa bahwa rasa sakit yang dirasakan warga Rohingya diakui karena selama hidup kami telah dicekoki bahwa kami adalah kelompok yang tak berharga," katanya setelah diskusi panel di Den Haag.

"Tetapi juga penting bahwa kata 'genosida' telah diucapkan begitu banyak dalam waktu satu jam ... dan kami telah mengupayakan hal itu sejak lama dan akhirnya itu didengar."

Diterbitkan ulang dari artikel berbahasa Inggris disini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement