REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Polisi Prancis menahan puluhan orang di Paris, Sabtu (16/11). Penahanan ini terjadi karena bentrokan sengit dalam demonstrasi ulang tahun pertama gerakan rompi kuning yang menantang kebijakan Presiden Emmanuel Macron.
Para pemrotes rompi kuning mengadakan demonstrasi nasional akhir pekan ini dalam upaya membuktikan gerakan mereka merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan. Peristiwa ini menandai demonstrasi besar pertama pada 17 November 2018.
Jumlah yang menghadiri protes dan tingkat kekerasan telah berkurang tajam dalam beberapa bulan terakhir. Namun, protes yang oleh para demonstran disebut "Act 53" menandai bentrokan serius pertama antara pasukan keamanan dan demonstran di Paris tengah.
Ketegangan menyelimuti di alun-alun Place d'Italie di tenggara Paris. Polisi yang menggunakan perisai dan pentungan membanjiri daerah itu dalam awan gas air mata. Meriam air pun digunakan setelah batu-batu dilemparkan, tempat sampah dibakar, dan sebuah mobil yang terbalik dibakar.
Laporan France 24 menyatakan, sebuah pusat perbelanjaan besar di daerah itu ditutup setelah pintu-pintunya dan jendela-jendela kompleks hotel diserang puluhan pemrotes yang menggunakan batu. Atas protes yang berjalan keras, petugas keamanan pun menangkap total 105 orang di seluruh kota pada sore hari.
Kepala polisi Paris Didier Lallement telah melarang demonstrasi Place d'Italie sebelum bentrokan terjadi. Abai atas anjuran tersebut, kerusakan dan serangan sistematis terhadap pasukan keamanan dan pemadam kebakaran malah terjadi.
"Kami agak kecewa ini telah menjadi kekerasan. Kita akan mencari tempat yang lebih tenang," kata Laurent, yang datang ke Paris dari Meurthe-et-Moselle di timur Prancis untuk menandai satu tahun protes.
Rompi kuning menginginkan aksi pada Sabtu untuk mengingatkan Macron kalau kelompok itu belum menghilang dari tempat kejadian. "Kami tetap di sini bahkan jika Macron tidak menyukainya," teriak para demonstran ketika mereka tiba di pinggiran Paris, dengan yang lain menyanyikan "Selamat Ulang Tahun". Beberapa stasiun metro ditutup di ibu kota dan polisi dikerahkan dalam jumlah besar, terutama di sepanjang Champs-Elysees.
Prancis memiliki tradisi panjang protes kekerasan, tetapi keganasan demonstrasi musim dingin lalu dan tuduhan kebrutalan polisi mengejutkan negara itu. Sebuah jajak pendapat oleh lembaga Elabe yang diterbitkan Rabu mengatakan, 55 persen orang Prancis mendukung atau bersimpati pada rompi kuning, meskipun 63 persen mengatakan tidak ingin protes dimulai lagi.
"Kita seharusnya tidak perlu berada di jalan satu tahun lagi," kata Priscillia Ludosky, seorang pengusaha yang petisi daring mengenai harga bahan bakar yang tinggi membantu memulai pergerakan.
Di luar Paris, ada lebih sedikit laporan tentang kekerasan dan protes skala besar. Hanya saja, diperkirakan 700 orang berunjuk rasa di kota timur Lille, sementara bentrokan meletus di kota barat Nantes di mana sekitar 1.000 orang muncul.
"Jika gerakan itu hilang, saya khawatir masyarakat akan menjadi tidak manusiawi dan itu akan menjadi akhir dari pelayanan publik dan pemerintahan uang raja," kata seorang demonstran di Nantes bernama Vanessa.
Gerakan Rompi kuning merupakan tantangan terbesar bagi Macron sejak berkuasa pada 2017 di belakang janji-janji perubahan besar. Macron menawarkan miliaran euro dalam bantuan negara dan keringanan pajak serta membatalkan kenaikan pajak bahan bakar, sambil memulai "Debat Nasional Besar" di balai kota nasional.
Namun, tantangan utama berikutnya untuk Macron, mungkin bukan berasal dari protes akhir pekan ini. Namun, pemogokan yang dilakukan oleh serikat pekerja pada 5 Desember untuk menentang reformasi pensiun yang direncanakannya.