REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Organisasi kemanusiaan Human Rights Watch (AS) menuduh pasukan keamanan Sudan sudah merencanakan serangan mematikan terhadap pengunjuk rasa bulan Juni lalu. HRW juga memperingatkan kekerasan itu dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam laporan yang dirilis pada Senin (18/11) HRW menyerukan pemerintahan transisi Sudan untuk berkomitmen 'mempertanggungjawabkan' kekerasan tersebut. Direktur HRW untuk Afrika Jehanne Henry mengatakan pemerintah Sudan harus menunjukkan keseriusan mereka dalam penggunaan senjata mematikan terhadap pengunjuk rasa.
"Mereka harus mulai mengejar keadilan atas serangan brutal terhadap pengunjuk rasa sejak Desember tahun lalu, memastikan semua penyelidikan independen dan transparan, dan sesuai dengan standar internasional," kata Henry, seperti dilansir dari Aljazirah.
Pada 3 Juni lalu, pasukan bersenjata dari paramiliter menyerbu tenda-tenda pengunjuk rasa di luar markas militer di pusat kota Khartoum. Mereka menembaki dan memukuli pengunjuk rasa pro-demokrasi yang sudah menduduki area itu selama berbulan-bulan.
Menurut Central Committee of Sudanese Doctors lebih dari 100 pengunjuk rasa terbunuh dan 700 orang lain dilaporan terluka dalam serangan-serangan setelahnya. Pihak berwenang menyatakan korban tewas sebanyak 87 orang termasuk 17 orang yang duduk di tenda-tenda tersebut.
Laporan HRW juga mendokumentasikan serangan yang dilakukan pihak berwenang terhadap pengunjuk rasa sebelum dan setelah serangan 3 Juni itu. Mereka juga mencacat serangan terhadap pengunjuk rasa di kota Omdurma pada 30 Juni.
Pada bulan Juli, jaksa yang ditunjuk pemerintah mengatakan bersama pasukan keamanan lainnya, anggota paramiliter Rapid Support Forces (RSF) terlibat dalam serangan 3 Juni. Penyelidikan menyalahkan anggota militer 'membangkang' atas serangan mematikan itu.
Dalam serangan 3 Juni, HRW mengatakan pasukan RSF memperkosa, menusuk, dan memukuli pengunjuk rasa. Mereka melakukan tindakan keji untuk mempermalukan demonstran seperti memotong rambut, memaksa merangkak di selokan, mengencingi dan melecehkan mereka.
Pengunjuk rasa Sudan turun ke jalan pada Desember tahun lalu. Setelah harga roti, makanan pokok di negara Afrika itu naik.
Karena tindakan keras pasukan keamanan, demonstran meminta diktaktor Omar al-Bashir turun dari jabatannya. Bashir pun dipaska mundur oleh militer pada 11 April. Pengunjuk rasa mulai meminta para jenderal yang menggulingkan Bashir menyerahkan kekuasaan kepada rakyat sipil.
Setelah berbulan-bulan bernegosiasi akhirnya pengunjuk rasa pro-demokrasi dan pemimpin militer sepakat membentuk pemerintah transisi sementara. Pemerintahan itu akan mengawasi proses transisi pemerintahan demokrasi selama tiga tahun.