Ahad 15 Dec 2019 08:56 WIB

Dewan Rohingya Eropa Kutuk Pernyataan Suu Kyi

Suu Kyi tidak mau menyebut istilah Rohingya selama di persidangan ICJ.

Genosida etnis Rohingya. Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi di hadapan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
Foto: EPA
Genosida etnis Rohingya. Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi di hadapan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Dewan Rohingya Eropa (ERC) mengutuk penyataan Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi terkait kejahatan militer terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine dalam persidangan di pengadilan internasional (ICJ). ERC mengatakan, dalam sebuah pernyataan tertulis bahwa Suu Kyi gagal membantah kejahatan yang dilakukan oleh militer di bawah pengawasannya.

Pernyataan ERC juga menyebutkan, Suu Kyi telah menunjukkan kepada dunia bahwa dia lebih memprioritaskan posisi politiknya daripada hak asasi manusia, keadilan, dan akuntabilitas. Apalagi, dia tidak menyebutkan istilah Rohingya selama memberikan pernyataan di ICJ.

Baca Juga

Setelah gagal menyebutkan istilah Rohingya di Pengadilan Internasional, dia dan tim hukumnya gagal memberikan tanda-tanda keadilan dan pertanggungjawaban. "Sebaliknya dia memberikan penolakan, pembelaan, dan penghapusan kejahatan-kejahatan genosida yang dilakukan oleh Panglima Senior Jenderal Min Aung Hlaing dan Militer Myanmar," ujar pernyataan ERC, dilansir Anadolu Agency, Sabtu (14/12).

ERC mendesak komunitas internasional untuk mendukung gugatan kasus genosida di Rohingya di ICJ serta mengakui dukungan dari Gambia, Kanada, Belanda, kelompok etnis Myanmar, dan organisasi hak asasi manusia (HAM). Selain itu, ERC juga meminta agar ada keadilan dan akuntabilitas dalam kasus kekerasan terhadap Rohingya.

Bulan lalu, Gambia mengajukan gugatan genosida warga Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar di pengadilan internasional. Gugatan ini merupakan langkah yang disebut sebagai pencapaian bersejarah. ERC menyebut Gambia memiliki kepemimpinan yang kuat dalam memperjuangkan keadilan.

"Ini adalah negara Afrika Barat yang berdiri tegak di tengah keheningan keadilan internasional dan pertanggungjawaban genosida terhadap Rohingya," ujar pernyataan ERC.

Keadilan dan akuntabilitas kasus genosida yang terjadi di Myanmar adalah tanggung jawab setiap bangsa yang terikat secara moral. ERC menyebut negara-negara yang memiliki hati nurani terhadap hak asasi manusia dan keadilan telah menyerukan dukungan bagi Gambia.

ERC mendesak negara-negara Eropa dan seluruh negara di dunia untuk mendukung Gambia di persidangan internasional. ERC juga meminta kepada organisasi HAM dan LSM internasional untuk mengawal kasus genosida di Myanmar.

Dalam persidangan pada Rabu (11/12), Suu Kyi berupaya keras untuk membela negaranya dari tuduhan genosida. Dia mengatakan, apa yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017 merupakan respons kontraterorisme.

Saat itu, kelompok milisi bersenjata Rohingya yang dikenal dengan nama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang puluhan kantor polisi di Rakhine. Militer kemudian menanggapi dengan mengerahkan pasukan ke wilayah tersebut guna memburu dan menangkap anggota ARSA.

Suu Kyi tak menampik kekuatan berlebih memang digunakan militer negaranya. "Tragisnya konflik bersenjata ini menyebabkan eksodus beberapa ratus ribu Muslim," ujarnya dalam persidangan.

Suu Kyi juga berpendapat, Gambia telah melukiskan gambaran faktual yang tidak lengkap dan menyesatkan terkait apa yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017. Masih banyak informasi keliru dan tak tepat yang disampaikan di pengadilan.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya yang kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar. Mereka menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan militer Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

Lebih dari 34 ribu warga Rohingya meninggal dunia karena terpanggang di rumah-rumah mereka yang dibakar oleh militer Myanmar. Sementara lebih dari 114 ribu lainnya dipukuli. Selain itu, sekitar 18 ribu perempuan Rohingya diperkosa oleh militer Myanmar dan lebih dari 115 rumah dibakar serta 113 ribu rumah lainnya telah dirusak. (rikzy jaramaya. ed:dewi mardiani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement