REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pembunuhan komandan militer paling terkemuka Iran, Qassem Soleimani, oleh Amerika Serikat menjadi hal nyata untuk memulai perang dan balasan terhadap aksi militer adalah aksi militer. Hal tersebut ditegaskan oleh Duta Besar (Dubes) Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi pada Jumat (3/1).
Dubes Ravanchi saat wawancara dengan CNN menyebutkan bahwa dengan pembunuhan Soleimani, Amerika Serikat memasuki tahap baru setelah memulai perang ekonomi dengan memberlakukan sanksi ketat terhadap Iran pada 2018.
"Jadi itu merupakan babak baru yang sama saja memulai perang melawan Iran," kata Ravanchi.
Ia menyebutkan akan ada aksi balasan yang kejam. "Balasan untuk aksi militer adalah aksi militer," katanya.
Dubes Ravanchi mengatakan kepada Dewan Keamanan dan Sekjen PBB Antonio Guterres bahwa Iran berhak membela diri di bawah hukum internasional.
Melalui surat Ravanchi menyebutkan pembunuhan Soleimani adalah contoh nyata terorisme negara dan tindakan kriminal, yang merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip dasar hukum internasional, termasuk, khususnya Piagam PBB.
Soleimani, jenderal berusia 62 tahun yang mengepalai pasukan Pengawal Revolusi Iran di luar negeri, dianggap sebagai tokoh paling berpengaruh nomor dua di negara tersebut setelah Pemimpin Spiritual Ayatollah Ali Khamenei.
Amerika Serikat menewaskan Soleimani dalam serangan di Irak yang diperintahkan oleh Presiden Donald Trump. Seorang pejabat senior pemerintah Trump menyebutkan Soleimani sedang merencanakan serangan dalam waktu dekat terhadap personel AS di Timur Tengah.
AS akan mencari pembenaran atas pembunuhan Soleimani berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB, yang mencakup hak individu atau bersama untuk membela diri terhadap serangan bersenjata.
Menurut Pasal 51, negara-negara harus "segera melaporkan" kepada Dewan Keamanan beranggotakan 15 negara atas setiap langkah yang ditempuh dalam menjalankan hak membela diri. Amerika Serikat menggunakan Pasal 51 untuk membenarkan aksi yang diambil di Suriah terhadap ISIS pada 2014.