Mengirim email ke alamat yang salah bisa berakibat fatal. Apalagi kalau isinya bersifat diskriminatif dan justru diterima oleh orang yang sedang dibicarakan.
Inilah yang menimpa kantor arsitek GKK+Architekten di Berlin. Lebih runyam lagi, email itu kemudian beredar di media sosial, yang langsung menjadi viral dan mengundang kecaman keras kepada GKK+Architekten.
Awalnya, Yaseen Gabr asal Mesir mengirim lamaran kepada GKK+Architekten di Berlin. Dia ditolak. Tapi nampaknya bukan karena kualifikasinya tidak tepat atau tidak memadai, melainkan karena dia etnis Arab.
Hal itu terungkap karena balasan yang diterima Yaseen Gabr lewat email bukan surat penolakan yang sebenarnya, melainkan email yang ditujukan direktur perusahaan kepada bagian personalia, yang memuat kalimat: "Tolong, jangan orang Arab."
Diduga direktur perusahaan membaca email tersebut dan ingin meneruskannya ke bagian personal, dengann komentar seperti itu. Tapi dia justru salah mengirim email balasan itu kepada sang pelamar Yaseen Gabr.
Mengundang shitstorm
Yaseen Gabr lalu memosting email itu di akun Facebooknya, dan menyebut balasan itu sebagai "surat penolakan terburuk yang üpernah saya terima". Postingan itu dengan cepat menjadi viral dan tersebar di media sosial lainnya. Banyak user yang bereaksi marah karena sikap diskriminatif direktur perusahaan.
Perusahaan GKK+Architekten di Berlin di situs webnya justru memuji kredibilitas internasionalnya, dengan menampilkan 30 bendera yang mewakili negara-negara asal para karyawannya. Kantor arsitek itu sekarang punya cabang di Cina.
Dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke DW, GKK+Architekten tidak menyangkal kejadian itu tetapi mengatakan itu adalah "kesalahpahaman," karena pesan "dipotong pendek," dan "diambil di luar konteks." Namun perusahaan tidak memperjelas lebih lanjut bagaimana apa yang dimaksudnya sebagai kesalahpahaman.
Pelamar dengan nama asing lebih jarang dipanggil untuk wawancara
Biro Anti-Diskriminasi Jerman dalam laporan tahunan terbaru menyebutkan, tingkat diskriminasi rasis di kantor-kantor Jerman jauh di atas rata-rata Uni Eropa. Di seluruh Uni Eropa frekuensi diskriminasi terhadap warga keturunan Afrika misalnmya, angkanya sekitar 9%, sedangkan di Jerman mencapai 14%.
Biro Anti Diskriminasi juga menemukan bahwa orang-orang dengan "nama yang terdengar asing" sekitar 24% lebih jarang dipanggil untuk wawancara lowongan kerja.
Dalam sebuah studi terpisah tentang Islamofobia di pasar tenaga kerja, Biro Anti Diskriminasi menulis; "data kualitatif menunjukkan bahwa penganut agama Islam menghadapi diskriminasi interpersonal dan struktural," sebagian besar terkait dengan persepsi kurangnya kualifikasi. Situasinya lebih buruk bagi perempuan yang mengenakan jilbab.
Jaringan Eropa Melawan Rasisme (ENAR) juga mencatat dalam publikasinya, salah satu hambatan utama untuk memerangi rasisme dan diskriminasi dalam praktik perekrutan tenaga kerja adalah kurangnya transparansi dalam wawancara para pelamar di sektor swasta. hp/as