Senin 20 Jan 2020 23:26 WIB

Oxfam: Ketimpangan Ekonomi tak Terkendali

Kerja perempuan tak dibayar mencapai 12,5 miliar jam.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Seorang perempuan India mengumpulkan sisa kacang-kacangan dari sebuah truk sembako di Gauhati, India, Rabu (8/1). Laporan baru Oxfam menunjukkan ekonomi dunia memicu ketimpangan yang seksis.
Foto: AP Photo/Anupam Nath
Seorang perempuan India mengumpulkan sisa kacang-kacangan dari sebuah truk sembako di Gauhati, India, Rabu (8/1). Laporan baru Oxfam menunjukkan ekonomi dunia memicu ketimpangan yang seksis.

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Badan amal Oxfam mengatakan 2.153 orang terkaya di dunia memiliki uang lebih banyak dari pada 4,6 miliar orang paling miskin di dunia. Laporan itu dirilis menjelang pertemuan tahunan pemimpin-pemimpin pemerintahan dan bisnis dunia di World Economic Forum di Davos, Swiss.

Dalam laporan itu menyebutkan ada begitu banyak perempuan yang bekerja tanpa dibayar. Jika digabungkan, setiap harinya ada 12,5 miliar jam kerja perempuan tanpa dibayar atau diakui.

Baca Juga

Dalam laporan yang berjudul 'Time to Care' Oxfam memperkirakan kerja perempuan yang tak dibayar ini bernilai 10,8 triliun dolar AS, tiga kali lipat lebih besar daripada industri teknologi.

"Ini penting bagi kami untuk menggaris bawahi mesin tersembunyi ekonomi yang kami lihat pada pekerjaan perempuan dalam bidang perawatan, dan ini harus diubah," kata CEO Oxfam India Amitabh Behar, Senin (20/1).

Untuk menunjukkan tingginya ketimpangan ekonomi global Behar mencontohkan kasus seorang perempuan yang bernama Buchu Devi di India. Ia menghabiskan waktu selama 16 sampai 17 jam per hari untuk melakukan pekerjaan seperti mencari air sejauh 3 kilometer, memasak, menyiapkan anaknya ke sekolah dan bekerja dengan upah rendah.

"Dan di satu sisi Anda melihat para miliuner yang datang ke Davos dengan pesawat pribadi mereka, gaya hidup kaya," kata Behar.

Behar menegaskan Buchu Devi bukan satu orang saja. Di India, kata Behar, ia bertemu dengan banyak perempuan yang bernasib seperti Buchu Devi dan di seluruh dunia ada kisah yang sama.

"Kami harus mengubah ini, dan tentu saja mengubah ledakan miliuner ini," katanya.

Behar mengatakan untuk mengatasi itu, pemerintah harus memastikan mereka yang paling kaya untuk membayar pajak mereka. Agar ada dana yang digunakan untuk membayar fasilitas umum seperti air bersih, kesehatan gratis dan kualitas sekolah yang lebih baik.

"Jika Anda melihat di seluruh dunia, lebih dari 30 negara sedang melakukan protes, orang-orang turun ke jalan dan apa yang mereka katakan? Mereka tidak akan menerima ketimpangan, mereka tidak akan hidup dengan kondisi ini," kata Behar.  

Ketimpangan pendapatan juga menumbuhkan ketidakpercayaan pada kapitalisme. Jajak pendapat yang dilakukan perusahaan hubungan masyarakat Edelman menunjukkan meningkatnya ketimpangan pendapatan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap kapitalisme di seluruh dunia.

Survei tersebut menunjukkan sebanyak 56 persen responden berpikir kapitalisme lebih banyak merusak dibandingkan bermanfaat. Padahal pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan naik di banyak negara.

"Kita hidup dalam paradoks kepercayaan, sejak kami mulai mengukur kepercayaan,  pertumbuhan ekonomi mendorong tingkat kepercayaan," kata CEO Edelman Richard Edelman yang telah melakukan jajak pendapat tentang kepercayaan selama 20 tahun.

Di beberapa wilayah seperti Timur Tengah dan Asia tingkat pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan pada sistem kapitalisme tidak berubah. Tapi jajak pendapat yang dilakukan Edelman menunjukkan meningkatnya ketimpangan ekonomi di negara-negara maju telah berkontribusi dalam melemahnya kepercayaan pada sistem kapitalisme.

"Ketakutan adalah harapan yang mencekik, dan sekarang asumsi lama yang menyatakan kerja keras membawa pada kenaikan kelas tidak valid," kata Edelman.

 

sumber : Reuters/AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement