REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sebanyak lima juta warga Afghanistan yang dipaksa menjadi pengungsi di Pakistan perang melawan Uni Soviet pada 40 tahun lalu. Mereka terusir dari rumah hingga sekarang dan belum menemukan kedamaian meski peristiwa telah berlau begitu lama.
Hukam Khan adalah salah satu pengungsi karena peristiwa itu. Dia adalah anak kecil yang dimasukkan ke dalam punggung keledai dan diseret melintasi pegunungan berbatu menuju Pakistan barat laut. Mereka lari dari pemboman yang begitu brutal sehingga disebut sebagai kebijakan "bumi hangus".
"Beri kami kedamaian dan kemudian kami akan kembali. Siapa yang tidak ingin kembali ke tanah air mereka?" ujar Khan.
Setelah empat dekade perang dan konflik, lebih dari 1,5 juta warga Afghanistan masih hidup sebagai pengungsi di Pakistan. Merasa ditinggalkan oleh pemerintah sendiri, semakin tidak disukai di negara tuan rumah dan diabaikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka yang tertahan memiliki kesempatan pulang ke tanah kelahiran. Amerika Serikat (AS) dan Taliban semakin mendekati kesepakatan damai, menyetujui sebagai langkah pertama menuju pengurangan kekerasan sementara.
Jika gencatan senjata itu berlaku, langkah selanjutnya bisa menjadi perjanjian yang telah lama dicari antara Washington dan Taliban untuk mengakhiri perang Afghanistan. Perjanjian itu akan mengembalikan pasukan AS ke rumah dan memulai negosiasi antara warga Afghanistan yang bertikai untuk membawa perdamaian.
Di sisi lain, Pakistan menjadi tuan rumah konferensi yang dihadiri oleh utusan perdamaian AS Zalmay Khalilzad dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin (17/2). Pertemuan itu bermaksud mengakui 40 tahun warga Afghanistan yang hidup sebagai pengungsi di negara itu.
"Berbicara tentang pengurangan kekerasan yang mengarah pada penandatanganan perjanjian antara Amerika Serikat dan Taliban yang akan membuka pintu bagi warga Afghanistan yang duduk di seberang meja, di satu sisi oleh pemerintah Afghanistan dan di sisi lain oleh Taliban Afghanistan," kata Khalilzad.
Meski ada kemungkinan, nyatanya untuk pengungsi kembali ke Afghanistan akan tidak mudah. Banyak pengungsi telah mencoba kembali dan menemukan tidak ada makanan atau tempat berlindung bagi mereka. Banyak juga pengungsi tidak lagi diterima di desa-desa yang telah mereka tinggalkan beberapa dekade sebelumnya.
Kekecewaan itu membuat mereka kembali ke Pakistan dan Iran. Sementara, puluhan ribu warga Afghanistan lainnya membayar penyelundup dan mempertaruhkan hidup untuk melarikan diri ke Eropa.
Komisaris Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Filippo Grandi mengatakan pemulangan paksa pengungsi dari Eropa merupakan langkah memalukan. "Saya benar-benar sangat berharap bahwa negara-negara seperti Iran dan Pakistan, yang telah menjadi tuan rumah dengan murah hati tidak mengambil contoh mereka dari negara-negara kaya yang menutup perbatasan, tidak hanya untuk Afghanistan, tetapi untuk banyak pengungsi lainnya," ujarnya.
Grandi menyatakan, kemungkinan kesepakatan damai AS-Taliban harus dipertimbangkan dengan baik. Dampak yang ditunjukkan belum pasti, dan perlu ada jaminan yang berkelanjutan untuk membuat pengungsi di Pakistan bisa kembali pulang.
Tantangan lain adalah mengumpulkan dana yang besar bukan hanya untuk membantu pulang pengungsi di luar negeri. Terdapat juga jutaan warga Afghanistan yang terlantar secara internal di dalam negeri.
Warga global telah bosan mengirimkan uang ke negara dengan korupsi mengakar seperti Afghanistan. Kondisi itu pun telah menaikkan tingkat kemiskinan, meskipun ada miliaran dolar AS bantuan sejak 2001.
Tingkat kemiskinan di Afghanistan pada 2012 menunjukkan sebanyak 34 persen warga terdaftar di bawah tingkat kemiskinan, hidup dengan satu dolar AS per hari hari. Hari ini, angka itu telah meningkat menjadi 55 persen.