Modus pencari suaka ke Australia tampaknya telah bergeser, dari menggunakan perahu, kini naik pesawat terbang. Pemerintah Australia sudah mengetahuinya dan umumnya menolak alasan kedatangan mereka.
- Pencari suaka memberikan berbagai alasan untuk bisa menetap yang kemudian harus diperiksa Pemerintah Australia
- Seorang warga Indonesia mengaku pernah masuk ke Australia dengan gunakan visa bisnis APEC
- Selagi menunggu keputusan diterima atau tidak, pencari suaka berpotensi dieksploitasi sebagai pekerja
Data Pemerintah Australia terbaru menunjukkan sebanyak 46.931 orang yang tiba di Australia dengan pesawat terbang sedang menunggu dideportasi ke negara asalnya, setelah alasan mereka mencari suaka di Australia ditolak.
Di bulan Januari 2020 lalu, tercatat hampir 2.000 orang datang ke Australia lewat udara, kemudian mengajukan klaim sebagai pencari suaka. Para pencari suaka bisa menyiapkan berbagai alasan dan klaim agar bisa menetap di Australia, meski tidak semuanya dapat diterima.
Tapi selagi menunggu keputusan apakah alasannya bisa diterima atau tidak di pengadilan, mereka diduga memanfaatkan waktu untuk mencari kerja.
Pelaksana tugas Menteri Imigrasi, yang juga menjabat Menteri Kependudukan, Alan Tudge menegaskan, mereka yang mencari suaka lewat udara sudah diketahui pihak berwenang.
Juru bicara oposisi bidang Kementerian Dalam Negeri yang membawahi imigrasi, Senator Kristina Keneally menyatakan, jumlah kasus yang kian menumpuk ini memicu kekhawatiran akan dimanfaatkan oleh sindikat pencari suaka.
"Meningkatnya [pencari suaka] yang datang menggunakan pesawat menunjukkan beroperasinya penyelundupan manusia. Itu sangat jelas," ujar Senator Keneally.
"Mengklaim suaka tidak ada salahnya, bahkan merupakan hak mendasar. Tapi 90 persen dari permohonan mereka ini ditemukan mengada-ada atau tanpa dasar," katanya.
Data yang diungkapkan Senator Keneally menunjukkan, hingga akhir Januari 2020, tercatat sebanyak 37.913 orang yang datang dari pesawat juga sedang menunggu penetapan status mencari suaka mereka.
Pengakuan warga Indonesia
Awal Januari lalu, ABC Indonesia pernah berbincang dengan salah satu warga Indonesia yang mengaku datang ke Australia untuk mencari suaka.
Ia, yang merasa tak nyaman jika identitasnya ditulis, mengatakan masuk ke Australia dengan menggunakan visa bisnis yang dikeluarkan organisasi ekonomi Asia Pasifik, APEC.
Dengan membayar hampir Rp 100 juta, ia mengaku memanfaatkan tawaran pelayanan dari seseorang di Jakarta untuk mendapatkan visa bisnis APEC.
Biaya tersebut, katanya, sudah termasuk tiket pesawat kelas bisnis dan hotel berbintang untuk beberapa hari, untuk membuktikan jika kedatangannya ke Australia adalah "menghadiri sebuah konferensi".
Namun beberapa pekan kemudian, ia mengajukan "protection visa", yang ditujukan bagi mereka yang sudah berada di Australia dan ingin meminta perlindungan.
Hingga terakhir berbicara kepada ABC ia sedang memegang "bridging visa", selagi menunggu keputusan jika alasannya meminta perlindungan bisa diterima Pemerintah Australia.
Tapi ia mengaku kini menemukan masalah, meski "tidak menyesal" memilih menempuh cara ini. "Saat ini saya sedang bekerja di bidang pertukangan, bos saya minta saya sekolah lagi, tapi karena pegang visa ini, saya tak bisa," ujarnya.
Menurutnya, visa ini tidak memberikan hak penuh seperti halnya warga Australia, atau pemegang visa kerja lainnya.
Sesuatu yang ia tidak ketahui sebelumnya, karena pihak di Jakarta yang membantunya tidak mengungkapkan semua informasinya.
"Dari pengalaman saya, saya tidak sarankan untuk mengikuti cara ini, sebaiknya jangan," ujarnya.
Memanfaatkan celah selagi menunggu
Data yang diungkapkan Senator Keneally menunjukkan ada 37.913 orang yang sedang menunggu apakah klaimnya sebagai pencari suaka diterima atau ditolak, hingga akhir Januari 2020.
Sementara berdasarkan laporan parlemen mengenai agen imigrasi dan pendidikan tahun lalu disiniyalir ada perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja dan sindikat kriminal memanfaatkan pencari suaka untuk bekerja secara ilegal, saat mereka sedang menunggu.
Proses pemeriksaan klaim pencari suaka biasanya memakan waktu yang cukup lama, bahkan bisa sampai 10 tahun, sehingga meninggalkan celah yang bisa dimanfaatkan pemohon suaka untuk bekerja.
Begitu mereka mendapatkan "bridging visa", otomatis memiliki hak kerja yang sama dengan warga Australia lainnya.
Menteri Alan Tudge menegaskan, Pemerintah Australia telah bekerja sama dengan negara lain, termasuk Malaysia, untuk mengatasi banyaknya klaim pencari suaka yang tidak memiliki bukti kuat.
"Sejumlah orang ingin mengeksploitasi tanggung jawab internasional kami dengan cara mengajukan klaim perlindungan tanpa dasar," ujarnya.
"Orang-orang ini memanfaatkan sistem hukum kami agar bisa tinggal lebih lama di Australia, meski sudah tahu klaimnya tidak akan berhasil," kata Menteri Tudge.
Data pencari suaka yang diajukan pemerintah ke Senat Australia menunjukkan selama Januari 2020 ada 1.931 orang yang datang dengan pesawat dan mengajukan klaim tersebut.
Rinciannya, paling banyak dari Malaysia, yakni 546 orang, 309 orang dari China, 255 dari India, 83 dari Fiji dan 61 orang dari Filipina.
"Orang-orang ini diselundupkan ke Australia dengan visa turis, disuruh mengajukan suaka, lalu disalurkan untuk bekerja di perkebunan atau tempat lainnya dengan kondisi eksploitasi, selama tiga tahun atau selama klaimnya diperiksa," kata Senator Keneally.
Simak berita-berita menarik lainnya dari ABC Indonesia