Rakyat Indonesia sudah memiliki akses ke buku sejak seabad lalu, meski awalnya hanya golongan elite yang bisa mendapatkan dan membacanya.
Keberadaan buku tidak lepas dari penerbit, yang pada umumnya masih dalam skala besar, atau dalam dunia literatur dikenal dengan penerbit mayor.
Tapi sekarang penerbit dari kalangan independen, yang dikenal sebagai penerbit indie atau penerbit mayor, semakin banyak bermunculan.
Salah satunya Cantrik, yang didirikan dengan keinginan untuk membawa angin segar dalam industri buku.
"Saya dengan partner saya sudah memilih untuk tidak menerbitkan buku sastra, walaupun saya sendiri dari lulusan sarjana sastra," kata Mawaidi, salah satu pendiri Cantrik.
"Karena saya merasa terlalu banyak dan untuk menerbitkan buku pasaran itu ya sama saja dengan yang lain, tidak memberikan kebaruan wacana intelektual di Indonesia."
"
Akhirnya pada tahun 2016, ia dan Naufil Istikhari memutuskan untuk fokus menerbitkan buku filsafat, walaupun dalam perjalanannya, Cantrik juga pernah menerbitkan buku ilmu sosial, kebudayaan, dan sastra sendiri.
Alasan yang didasarkan pada pemikiran juga dianut oleh Ronny Agustinus, yang mendirikan Marjin Kiri pada tahun 2005.
"Secara sosial politik, Marjin Kiri bermaksud menghadirkan pemikiran-pemikiran progresif kritis yang bersumber dari Marxisme dan sejenisnya untuk mengisi lubang kosong dalam humaniora Indonesia," katanya.
"Dan syukur kalau bisa sampai mempengaruhi kebijakan ekonomi politik."
Sementara itu, POST Press yang didirikan oleh Teddy Kusuma pada tahun 2014 bermula dari membaca, yang merupakan hobi dirinya dan pasangannya.
"
"Semula karena kami memang suka baca dan kangen untuk punya ruang untuk para pembaca dan orang-orang yang suka buku," kata Teddy.
"
"Salah satu pertimbangannya juga adalah di Pasar Santa itu lumayan affordable [terjangkau] untuk sewa di Jakarta Selatan."
EA Books, menurut Aditia Purnomo, didirikan oleh Puthut EA karena dulunya sering melakukan "keliling literasi."
"Dia ketemu teman-teman komunitas ... dia ajak untuk coba bikin satu konsep buku bareng," katanya.
"[Tahun] 2018 atau 2019 EA Books akhirnya diakusisi oleh penerbit buku Mojok dan sekarang menjadi penerbit yang ada di bawah Mojok Group."
Cara menemukan penulis
Untuk mendapatkan karya tulis, para penerbit menempuh beragam cara.
Salah satunya adalah bekerja sama dengan beberapa fakultas filsafat di berbagai universitas di Indonesia, seperti yang dilakukan Cantrik.
"Kami langsung menyurati dekannya, meminta untuk mahasiswa S1 dan pasca untuk diminta diarahkan menerbitkan bukunya ke kami," ujar Mawaidi.
"Dan itu terjaring, walaupun tidak langsung seluruh mahasiswa filsafat mengirim semua, beberapa [melakukannya] dan tema-temanya menarik."
EA Books di sisi lain, biasanya mencoba mencari orang-orang yang memiliki "blog atau media sosial bagus."
"Dalam arti, mereka cocok dengan kita, idenya cocok dengan kita," kata Aditia.
"Biasanya kita akan komunikasi ke mereka untuk apakah mereka mau menerbitkan naskah-naskah itu, yang tentu saja kemudian diperbaiki lagi."
Selain mengundang penulis, POST Press juga melakukan 'open submission' bagi penulis yang ingin menerbitkan buku.
"Ada juga penulis yang menawarkan naskahnya kepada kami," ujar Teddy.
"Misalnya 'Cerita-cerita Jakarta', penulisnya menawarkan kepada kami apakah bersedia untuk menerbitkan. Kami baca, kami suka, yang sudah kami sunting terus terbitkan."
Perbedaan dengan penerbit mayor
Ronny mengatakan definisi penerbit independen sudah sangat jelas, menurut Aliansi Penerbit Independen Nasional yang bermarkas di Paris.
"Yang dimaksud sebagai penerbit independen adalah bukan bagian dari konglomerasi atau korporasi," katanya.
"Keputusan penerbitan murni diambil berdasarkan versi literer redaksi."
Menurutnya, kebanyakan penerbit besar "tidak mau rugi" karena banyak hal yang sudah mereka taruhkan.
"Di penerbit besar, apalagi yang merupakan bagian dari korporasi atau konglomerasi, keputusan penerbitan bahkan jadi tidak bisa diambil murni oleh redaksi tanpa campur tangan divisi bisnisnya."
Keempat penerbit yang diwawancara ABC Indonesia mengatakan kapital atau modal adalah sesuatu yang membedakan mereka dari penerbit mayor atau penerbit besar.
"Penerbit kecil membutuhkan sirkulasi keuangan yang cepat untuk menerbitkan buku-buku yang lain," kata Mawaidi.
"Sementara penerbit besar dengan kapital besar bisa menerbitkan 10 judul, misalnya, setiap bulan, sementara kami dua judul saja selain persoalan dana tentunya, persoalan SDM."
Teddy mengatakan penerbit besar terkadang tidak menerbitkan suatu buku karena isu yang diangkat terlalu spesifik.
"Misalkan buku kekerasan budaya pasca '65 atau kritik terhadap hak asasi manusia atau queer literature," ujarnya.
"Tidak akan dengan mudah ada di penerbitan mayor."
Namun Aditia mengatakan dalam 10 tahun terakhir, penerbit buku independen "mendapatkan tempat dan pasarnya sendiri" dengan berkembangnya sarana distribusi.
"Sekarang tidak hanya lewat toko buku besar, tapi juga lewat online," ujarnya.
"Ini buat semangat teman-teman penerbit kecil bahwa ketika ngomongin pasar, kita bisa main dan bertarung di tempat yang sama dengan para raksasa, bahkan tanpa modal yang sebesar mereka."
Pentingnya penerbit indie
Ronny mengatakan di berbagai titik dunia, penerbit kecil atau independen adalah pengusung "kebaruan", "inovasi", dan "eksperimen."
"Lihat statistik pemenang misalnya saja Booker Prize, beberapa tahun terakhir diraih oleh penerbit kecil," katanya.
"Di negara-negara yang sistem perbukuannya kuat dan dana kebudayaannya besar, penerbit-penerbit macam ini mendapat subsidi negara. Maka memang penting ada."
Teddy mengatakan baik penerbit besar ataupun kecil memiliki kelemahan sendiri dan "tidak ada satu yang lebih baik dari yang lain."
"Toko buku penerbit mayor, jaringan toko bukunya ada di seluruh indonesia sehingga bagusnya dia akan bisa menjangkau lebih banyak pembaca," katanya.
"Tetapi belum tentu buku itu dicetak atau dipromosikan terus."
Tapi menurut Mawaidi keberadaan penerbit, seberapa besar atau kecil skalnya, sangatlah penting.
"Saya percaya dengan banyaknya penerbit akan memperbanyak peluang masyarakat mengakses buku," katanya.
"Masyarakat enggak mau baca buku, kan salah satunya karena enggak ada buku di sekelilingnya, sebenarnya."