Kamis 20 Feb 2020 05:45 WIB

Warga Tinggalkan Lebanon dalam Krisis

Lebanon mengalami krisis yang parah sepajang sejarah.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Dwi Murdaningsih
Warga Lebanon membakar ban di Beirut sebagai bentuk protes anti-pemerintah, Rabu (22/1). Lebanon mengumumkan pembentukan pemerintahan baru pada Selasa lalu.
Foto: Wael Hamzeh/EPA
Warga Lebanon membakar ban di Beirut sebagai bentuk protes anti-pemerintah, Rabu (22/1). Lebanon mengumumkan pembentukan pemerintahan baru pada Selasa lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Muak dengan ketidakstabilan politik Lebanon, warga Lebanon Habib Rahhal telah mempertimbangkan pergi sejak 2018. Dia memutuskan mencari kehidupan di negara lain karena krisis yang terjadi semakin memburu.

Rahhal pun mendapatkan kesempatan bekerja di Jerman sebagai perancang produk mulai bulan ini. Dia bergabung dengan gelombang masyarakt yang meninggalkan Lebanon dan memilih hidup di luar negeri.

Baca Juga

"Biasanya, jika seseorang pergi, kamu akan kesal dan mencoba membujuk mereka untuk tidak melakukannya. Di Lebanon, ini adalah kebalikannya... Hal pertama yang mereka katakan adalah 'Selamat!'," Kata pria berusia 27 tahun ini.

Saudara laki-laki Rahhal sudah tinggal di Jerman dan ayahnya tinggal di Nigeria. Kakaknya melamar pekerjaan ke Kanada, dan ibunya juga ingin pergi.

Ketika Rahal di bandara, pacarnya Dana Nehme berencana untuk bergabung dengannya di Jerman. "Masa depan kita akan berada di luar negeri. Sangat menyedihkan bahwa kita harus mengambil langkah-langkah seperti itu untuk melanjutkan hidup kita," ujar perempuan berusia 27 tahun ini.

Keputusan meninggalkan tanah kelahirnya adalah hal yang tepat. Masyarakat melihat pergi dari Lebanon justru memberikan kebahagian, ketimbang bertahan di dalam krisis berkempanjangan.

Krisis ekonomi Lebanon secara luas dipandang sebagai yang paling akut sejak kemerdekaan dari Prancis. Bahkan lebih buruk daripada yang pernah dialami selama perang saudara pada 1975 sampai 1990.

Kondisi semakin memuncak pada tahun lalu, ketika aliran modal ke negara itu melambat dan protes meletus menuntut elite penguasa yang korupsi negara dan tata kelola yang buruk. Keadaan semakin tidak menyenangkan saat bank telah memberlakukan batasan ketat pada akses ke uang tunai dan transfer ke luar negeri.

Pound Lebanon telah merosot dan perusahaan telah memecat pekerja serta memangkas upah. Menurut perkiraan oleh mantan menteri ekonomi Lebanon, ekonomi menyusut 7 persen tahun lalu.

Bertemu dengan krisis tanpa akhir, banyak orang mempertimbangkan untuk pergi meninggalkan negara asal. Banyak orang Lebanon, termasuk beberapa ahli, sudah memiliki paspor kedua, sehingga lebih mempermudah untuk pergi.

Lebanon sudah dikenal sebagai komunitas diaspora besar di banyak negara, termasuk Brasil, Kanada, dan Australia. Beberapa negara Afrika memiliki banyak keturunan Lebanon yang meninggalkan negaranya karena krisis atau konflik sebelumnya di daerah tersebut.

"Emigrasi telah menjadi bagian dari sejarah Lebanon, dan pihak berwenang belum melakukan apa pun untuk membalikkan atau menahan tren ini," kata kepala ekonom di Byblos Bank Nassib Ghobrial.

Ghobrial menyatakan, perpindahan ini terjadi karena kaum muda melihat tidak ada masa depan di Lebanon. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk berkarya di luar negeri, ketimbang terus berhadapan dengan krisis.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement