REPUBLIKA.CO.ID,BEIRUT -- Jumlah perempuan di Lebanon yang meninggal akibat komplikasi terkait kehamilan hampir tiga kali lipat di tengah krisis ekonomi selama tiga tahun terakhir. Menurut UNICEF, kondisi ekonomi yang tidak stabil membuat dokter dan bidan meninggalkan negara itu.
"Berulang kali, orang tua dan keluarga yang sedih tidak dapat mengakses perawatan kesehatan dasar untuk anak-anak mereka karena banyak petugas kesehatan yang berdedikasi berjuang untuk menjaga operasi tetap berjalan selama krisis," kata perwakilan UNICEF Lebanon Ettie Higgins.
Sekitar 40 persen dokter, termasuk yang secara khusus menangani anak-anak dan perempuan, telah meninggalkan negara itu. Sebanyak 30 persen bidan pun melakukan hal sama. Kondisi itu mengurangi kualitas layanan di negara yang sebelumnya dianggap sebagai pusat layanan kesehatan regional.
"Lebanon telah mencapai keberhasilan yang luar biasa dalam mengurangi kematian ibu, tetapi jumlahnya meningkat lagi antara 2019 dan 2021, dari 13,7 menjadi 37 kematian per 1.000 kelahiran hidup," kata badan tersebut dalam sebuah laporan yang dirilis Rabu (20/4).
Sedangkan jumlah anak yang meninggal dalam empat minggu pertama setelah kelahiran meningkat secara dramatis di antara para pengungsi di empat provinsi yang dinilai. "Dari 65 kematian neonatal pada kuartal pertama 2020 menjadi 137 pada triwulan ketiga," ujar laporan badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Koordinator Komite Nasional Lebanon untuk Safe Motherhood Faysal al-Kak mengatakan, jumlah kematian ibu telah melonjak sebagian besar karena varian delta virus corona pada 2021. Namun, krisis juga merupakan faktor pendorong.
"Krisis Lebanon adalah variabel yang kuat, mungkin ibu tidak cukup mengunjungi, takut pergi ke dokter karena biaya uang. Ini memberi wanita perasaan bahwa 'saya tidak bisa pergi ke dokter'," katanya.
"Delta dan tingkat vaksinasi yang rendah, di samping krisis yang kita alami, dapat mempengaruhi secara tidak langsung aksesibilitas, biaya, dan transportasi," ujarnya.
UNICEF menyatakan, kenaikan biaya transportasi, layanan karena jatuhnya mata uang negar, serta penghapusan sebagian besar subsidi bahan bakar dan obat-obatan telah membuat perawatan kesehatan di luar jangkauan banyak orang.
Krisis ini juga mempengaruhi anak-anak, terutama di antara pengungsi Suriah yang melarikan diri melintasi perbatasan ke Lebanon. UNICEF mengatakan sepertiga anak-anak tidak dapat mengakses layanan kesehatan pada Oktober 2021. Menurut laporan perkiraan pemerintah, Lebanon menampung 1,5 juta pengungsi Suriah, yang merupakan seperempat dari populasi.