REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA -- Kasus pembunuhan aktivis perempuan yang membela hak asasi manusia (HAM) di Kolombia meningkat hampir 50 persen pada 2019, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. PBB mendesak pemerintah Kolombia untuk meningkatkan upaya perlindungan.
Kekerasan tersebut telah menjadi isu utama bagi pemerintahan Presiden Ivan Duque yang kerap menghadapi kritik dari komunitas internasional, organisasi nonpemerintah, dan aktivis hak asasi manusia. Mereka mengkritik pemerintah karena tidak mampu mengendalikan kasus pembunuhan terhadap aktivis.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan, tahun lalu ada sekitar 108 kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia. Lima belas aktivis yang terbunuh adalah perempuan.
"Implementasi cepat dan efektif dari program jaminan komprehensif untuk pemimpin perempuan dan pembela hak asasi perempuan bisa menjadi alat penting untuk pencegahan dan perlindungan terhadap pembunuhan dan serangan," ujar Kepala Hak Asasi Manusia PBB di Kolombia, Alberto Brunori.
Ada 36 kasus kekerasan yang menewaskan empat orang aktivis di Kolombia pada tahun lalu. Angka tersebut adalah yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Sebanyak 15 orang tewas dalam operasi polisi maupun operasi militer yang melibatkan dugaan penahanan sewenang-wenang.
Presiden Duque mengklaim, jumlah pembunuhan aktivis telah menurun sejak dia menjabat pada Agustus 2018. Dia menuding pembunuhan terjadi karena pemberontakan National Liberation Army yang menolak perjanjian damai 2016. Kasus pembunuhan lainnya yakni sekelompok gengster yang terlibat dalam perdagangan narkoba dan penambangan ilegal.
"Ada pengurangan, tetapi angkanya harus nol," ujar Duque.