Rabu 04 Mar 2020 20:56 WIB

Polusi Udara di China Menyusut Drastis Setelah Wabah Corona

Polusi udara di China menyusut diperkirakan karena kebijakan isolasi akibat wabah virus corona.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Warga bermasker berjalan di pusat Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China
Foto: AP Photo/Arek Rataj
Warga bermasker berjalan di pusat Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Sebuah video menunjukkan perbedaan mencolok antara udara di China tiga tahun lalu dan pada Rabu (4/3) setelah negara itu melakukan isolasi di beberapa kota akibat pencegahan meluasnya virus corona baru atau Covid-19. Awan musim salju yang terlihat sangat jernih itu diperkirakan dipicu oleh kosongnya jalan di jalan-jalan utama kota.

Untuk mengontrol persebaran virus yang lebih meluas beberapa kota besar di China diisolasi. Transportasi pun sangat dibatasi seperti perjalanan kereta api, dan penerbangan banyak yang ditangguhkan.

Baca Juga

Dilansir South China Morniing Post, sebagai hasil isolasi beberapa kota itu, China untuk pertama kalinya dalam tiga tahun mengalami penurunan emisi karbon. Sebuah studi menemukan emisi karbon turun sekitar 100 juta ton selama dua pekan akibat isolasi di Cina.

Satelit NASA merekam perubahan atmosfer di sejumlah kota dan pabrik di China. Gambar NASA menunjukkan tingkat Nitrogen dioxide (NO2) dari Januari ke Februari.

NO2 merupakan polutan udara yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Gambar dari NASA juga menunjukkan perbandingan emisi NO2 lebih dari tiga periode dari 2019 dan 2020.

NASA mengatakan, perlambatan ekonomi China di tengah wabah adalah salah satu faktornya. "Ini adalah yang pertama kalinya saya melihat penurunan tingkat polusi yang signifikan dari wabah ini," ujar peneliti kualitas udara NASA, Fei Liu.

Para ilmuwan mengatakan, emisi karbon turun sekitar 25 persen, dan NO2 turun sebanyak 30 persen. Perubahan itu adalah perubahan terbaik China pada musim liburan di Tahun Baru Imlek.

"Dalam konteks yang penting adalah ini terjadi setelah Tahun Baru Imlek, jadi di sekitar tahun imlek yang mengalami penurunan ekonomi, sebagai hasil dari penurunan tingkat emisi" ujar profesor Sekolah Teknik dan Ilmu Terapan di George Washington University, Prof, John Helveston.

"Biasanya itu akan berlangsung hanya sekitar satu minggu, dan kemudian emisi naik lagi. Tapi tahun ini kita melihar kondisi berkepanjangan dari emisi di tingkat liburan ini," ujarnya menambahkan.

Kendati demikian, langit biru cerah sementara mungkin memiliki biaya lingkungan nantinya. "Hal yang paling saya khawatirkan adalah efek potensial rebound, yang telah kita lihat di masa lalu. Jadi setelah krisis keuangan 2008 misalnya, pemerintah telah memperkenalkan banyak paket stimulus belanja negara," ujar Helveston.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement