REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pertemuan antara kepala pemerintah Turki dan Rusia akan menjadi kesempatan terakhir untuk menghindari ketegangan lebih lanjut di Suriah. Presiden Turki Tayyip Erdogan bertekad untuk meraih gencatan senjata.
Pasalnya, ia sudah kehilangan banyak pasukan di Provinsi Idlib, Suriah dan akan menghadapi gelombang imigran baru bila ketegangan terus berlangsung. Presiden Rusia Vladimir Putin pun siap membuat penawaran.
Ketika krisis imigran baru di perbatasan Eropa maka semua mata tertuju pada pertemuan yang digelar di Moskow tersebut. Kedua kekuatan terbesar di Suriah berusaha meraih kesepakatan yang juga sesuai dengan agenda masing-masing.
Kesepakatan apa pun yang berhasil diraih tampaknya hanya akan menghentikan sementara ketegangan di Idlib. Hal itu mendorong pasukan pemerintah Presiden Bashir al-Assad yang didukung Rusia mundur dari serangan-serangan yang telah menciptakan penderitaan bagi 3 juta jiwa yang terperangkap di Idlib.
"Masalah utamanya di Idlib adalah hasrat Assad untuk mendirikan wilayah yang sepenuhnya dikendalikan dan memblokir perbatasan dengan Turki, sementara mendorong 3 juta populasi Sunni, yang tak bersahabat dengan Assad, ke wilayah Turki," kata analis hubungan luar negeri Rusia, Vladimir Frolov, Kamis (5/3).
Pertempuran di Idlib, wilayah terakhir yang dikuasai pemberontak di Suriah sudah memicu bencana bagi populasi di sana. Sejak pemerintah Assad melancarkan operasi pada 1 Desember tahun lalu sudah hampir satu juga orang meninggalkan rumah mereka.
Pergerakan warga itu menjadi gelombang pengungsian terbesar sejak Suriah didera perang sipil sembilan tahun yang lalu. Para pengungsi tidak memiliki tempat yang dituju karena perbatasan Turki sudah penuh.
Anggota NATO itu juga sudah menampung 3,6 juta pengungsi Suriah dan menolak untuk menerima gelombang pengungsi baru. Serangan militer Suriah juga semakin mendorong Turki berperang dengan Rusia.
Beberapa bulan terakhir sudah berulang kali pasukan Turki dan Suriah bentrok di udara dan darat. Masing-masing negara kehilangan banyak pasukan. Dalam beberapa pekan terakhir Turki mengirimkan ribuan pasukan ke Suriah.
Keputusan itu justru menimbulkan bencana bagi mereka sendiri. Selama beberapa bulan ini sudah 58 pasukan Turki yang tewas di Suriah termasuk 33 lainnya yang gugur dalam sebuah serangan udara pekan lalu.
Karena marah, Erdogan membuka perbatasan Turki dengan Yunani. Ia mendeklarasikan tidak lagi menahan imigran dan pengungsi yang ingin datang ke Eropa. Beberapa pemimpin negara Eropa menuduh Erdogan menggunakan pengungsi untuk memeras negara-negara Barat agar mereka bersedia mendukung Turki.
Para analis mengatakan langkah ini menunjukan Erdogan frustasi. Terutama setelah gagal mendapat bantuan dari NATO dan kemungkinan akan menjadi bumerang mengingat apa yang terjadi pada krisis imigran tahun 2015 ketika gerbang Eropa dibuka.
"Pihak Turki dipaksa oleh kebutuhan dengan harapan tekanan dapat menciptakan semacam memelintir lengan Eropa," kata profesor Hubungan Internasional Altinbas University Ahmed Kasim Han.
Erdogan yang semakin terasingkan mungkin akan bersedia membuka kesepakatan yang tidak persis seperti yang ia harapan. Pada Selasa (3/3) lalu ia mengatakan topik utama pertemuannya dengan Putin akan seputar 'meraih gencatan senjata secepatnya di kawasan'. Moskow juga tampaknya ingin memperbaiki status quo di Idlib.
"Kami berharap dapat berbagi pandangan tentang penyebab krisis yang terjadi saat ini, konsekuensinya dan menyepakati serangkaian langkah untuk mengatasinya," kata juru bicara Putin, Dmitry Peskov.