Jumat 06 Mar 2020 14:46 WIB

Konflik di Idlib Suriah Mereda Setelah Gencatan Senjata

Tak ada lagi serangan udara dari militer Rusia dan Suriah.

Red: Nur Aini
Idlib, Suriah
Idlib, Suriah

REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Wilayah Idlib, Suriah, mulai sepi tetapi masih diliputi ketegangan, Jumat (6/3). Hal itu menjadi tanda konflik antara pihak pemerintah yang didukung Rusia dengan kelompok pemberontak yang didukung Turki mulai mereda setelah ada gencatan senjata antara Presiden Vladimir Putin dan Presiden Tayyip Erdogan, Kamis (5/3).

Menurut keterangan penduduk setempat tak ada serangan udara dari militer Rusia dan Suriah ke wilayah pemberontak setelah ada gencatan senjata. Turki dan Rusia sepakat untuk menahan pertempuran di Idlib, Kamis, setelah dua kepala negara berunding di Moskow. Pasalnya, pertempuran di Idlib telah memaksa jutaan warga mengungsi dalam waktu tiga bulan terakhir.

Baca Juga

Para warga dan pejuang di wilayah itu mengatakan area garis perbatasan sepi dan tenang pada tengah malam di saat gencatan senjata mulai berlaku. Sebelumnya, dua pihak bertempur hebat di wilayah tersebut. Rusia dan Suriah menyerang wilayah pemberontak dengan jet tempur, sementara pasukan artileri Turki dan serangan drone merusak pangkalan militer milik pemerintah Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar al-Assad.

Tidak hanya di Idlib, pertempuran di wilayah lain juga mulai mereda. "Dalam satu jam pertama, kami melihat tensi antarpihak mulai reda," kata Ibrahim Al-Idlibi, tokoh oposisi yang dekat dengan kelompok pemberontak.

"Tiap orang sadar pelanggaran yang dilakukan pihak manapun akan ada konsekuensinya. Namun, gencatan senjata ini cukup rentan (dilanggar)," tambah dia.

Media milik pemerintah Suriah belum melaporkan informasi gencatan senjata itu dan pihak oposisi ragu langkah tersebut akan bertahan. Alasannya, negosiasi itu tidak membahas permintaan utama Turki yang mendesak Suriah menarik mundur pasukannya di wilayah netral yang telah disepakati Rusia dan Turki di Sochi pada 2018.

Untuk saat ini, mereka sepakat untuk membangun jalur aman dekat jalur M4 yang membentang dari timur ke barat melalui Idlib. Kedua pihak juga sepakat mengadakan patroli bersama pada 15 Maret. Bagi Suriah yang didukung Rusia merebut kekuasaan di wilayah barat laut dari pemberontak jadi misi penting untuk membangun perekonomian di tengah embargo/sanksi dari pihak lain.

Para oposisi Assad geram karena perjanjian itu tidak menetapkan zona aman yang seharusnya jadi tempat bagi jutaan pengungsi untuk membangun pemukiman sementara setelah rumah mereka terdampak konflik.

"Tidak ada yang menyebut zona aman atau daerah bebas (senjata). Tidak ada penarikan pasukan militer dan ke mana para pengungsi ini harus pergi?... mereka tidak akan diterima di daerah yang dikuasai rezim. Yang kami dengar hari ini, sama sekali tidak membuat tenang," kata Ahmad Rahhal, mantan jenderal di pasukan pemerintah Suriah yang membelot ke oposisi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan konflik di Idlib telah memaksa hampir satu juta orang mengungsi, angka eksodus terbesar dalam perang yang telah berlangsung selama sembilan tahun di Suriah.

"Hasil (negosiasi) ini cukup sederhana dibandingkan dengan penumpukan besar pasukan Turki di sepanjang perbatasan dan di dalam Suriah," kata Rahhal. Pernyataan itu merujuk pada informasi dari oposisi pemerintah yang menyebut Ankara mengerahkan 15.000 pasukannya untuk menahan pasukan pemerintah dan Rusia memasuki Idlib.

Sejumlah gencatan senjata pernah disepakati di Idlib. Namun, perjanjian itu buyar setelah pasukan pemerintah yang didukung Rusia memutuskan menyerang demi menguasai wilayah tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement