REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Utusan PBB untuk hak asasi manusia (HAM) Myanmar Yanghee Lee mengatakan bahwa pemimpin sipil Aung San Suu Kyi gagal menjaga reputasinya sebagai pejuang kemanusiaan. Sikap diam Suu Kyi atas tuduhan kekerasan anti-Rohinggya dinilai Lee sangat mengecewakan.
"Kita semua tahu bahwa dia memakai alas atau digambarkan sebagai ikon demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi sejak (partainya) telah menjabat (setelah pemilihan 2015) dan sejak dia berkuasa di kantor dewan negara, semua tindakan dan kata-katanya serta pernyataannya menunjukkan sebaliknya," kata Lee dikutip Aljazirah, Kamis (30/4).
"Saya masih ingin percaya bahwa dia dapat mengubah apa yang dia lakukan, tetapi mungkin dunia tidak benar-benar tahu siapa dia," ujarnya menambahkan.
Lee berperan sebagai utusan PBB untuk Myanmar pada 2017, terutama didominasi oleh tindakan berdasar Myanmar di negara bagian Rakhine. Saat itu, 750 ribu orang yang sebagian besar Muslim Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh. Lee telah berulang kali ditolak pemerintah Myanmar untuk memasuki negaranya.
Suu Kyi menjadi ikon demokrasi selama dekade kediktatoran militer Myanmar. Dia sempat menghabiskan sekitar 15 tahun di bawah tahanan rumah.
Pada Desember 2019, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu membela militer Myanmar terhadap tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). Dalam pidatonya, Aung San Suu Kyi mengatakan kepada pengadilan bahwa eksodus ratusan ribu orang ke negara tetangga Bangladesh pada 2017 adalah hasil yang disayangkan dari pertempuran dengan militan bersenjata. Dia sama sekali tidak menyebut kata Rohingya.
Kasus ICJ yang diajukan oleh Gambia, menuduh Myanmar melanggar Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida sehubungan dengan penumpasan tahun 2017. Badan-badan PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah banyak mendokumentasikan kekejaman atas insiden yang menimpa mayoritas Muslim Rohingya. Pemerintah dan tentara Myanmar secara konsisten membantah tuduhan itu.
"Saya tidak bisa mengeluarkan kesimpulan di depan pengadilan (Pengadilan Kriminal Internasional) yang diberi mandat untuk berurusan dengan genosida, tetapi saya mengatakan itu memiliki ciri khas genosida," kata Lee.
Lee juga menyerukan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang yang sedang berlangsung dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine dan Chin di Myanmar "Sementara dunia sedang mengalami pandemi Covid-19, militer Myanmar terus meningkatkan serangannya di Negara Rakhine, dengan menargetkan penduduk sipil," kata Lee dikutip laman resmi HAM PBB.
"Desakan untuk gencatan senjata, termasuk oleh Tentara Arakan, tidak diindahkan. Sebaliknya, Tatmadaw (pasukan militer Myanmar) menimbulkan penderitaan besar pada komunitas etnis di Rakhine dan Chin," katanya menambahkan.
Menurutnya, Tatmadaw secara sistematis melanggar prinsip-prinsip paling mendasar dari hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia. Perilakunya terhadap penduduk sipil di Rakhine dan Negara-negara Chin, kata Lee sama saja dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Semua pihak dalam konflik, termasuk Tentara Arakan juga harus melindungi warga sipil," katanya. Konflik bersenjata telah berkobar di Rakhine dan Negara-negara Chin sejak Desember 2018 antara Tatmadaw dan Tentara Arakan.
Dalam beberapa pekan terakhir April ini, Tatmadaw telah meningkatkan serangan terhadap warga sipil. Lebih dari 157 ribu orang telah terlantar, dan ratusan termasuk perempuan dan anak-anak terbunuh dan terluka sejak konflik dimulai.
Tentara Arakan juga telah melakukan permusuhan dengan cara yang berdampak negatif pada warga sipil, termasuk penculikan pejabat lokal dan anggota parlemen. Baru-baru ini, pada 12 April, Angkatan Darat Arakan dilaporkan telah menculik seorang anggota terpilih dari komite Kotapraja Paletwa. Namun negara itu telah mendeklarasikan gencatan senjata sepihak yang berdampak meningkatkan perlindungan sipil. Fokus semua otoritas kini ada pada pandemi, termasuk pasukan keamanan yang harus berurusan dengan krisis Covid-19.