Sebuah obat antivirus corona bernama Remdesivir telah mendapatkan persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Efektivitasnya masih diperdebatkan, termasuk di Australia yang kini mengembangkan sendiri antivirusnya.
Remdesivir dibuat oleh perusahaan farmasi Gilead, merupakan satu dari sejumlah obat lainnya yang diujicoba di berbagai dunia oleh perusahaan dan organisasi, termasuk WHO.
Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas yang dirancang untuk menonaktifkan mekanisme virus dalam mereplikasi diri, termasuk virus corona.
"Obat ini pada dasarnya meniru materi genetika virus itu sendiri," jelas Sharon Lewin, pakar penyakit menular dan direktur Doherty Institute di Melbourne.
"Ketika mencoba mereplikasi diri, virus ini justru menggunakan obat yang diberikan, bukan bangunan genetikanya, sehingga akan menggagalkan replikasi tersebut," jelasnya.
Remdesivir sebenarnya pernah diujicobakan sebagai obat virus Ebola, namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya diujicobakan untuk virus corona SARS-CoV-2 setelah menunjukkan hasil dalam mengobati SARS dan MERS.
Ujicoba awal penggunaan remdesivir dikritik karena tidak melihat secara pasti apakah kesembuhan pasien disebabkan obat ini atau karena kondisi pasien memang membaik.
Para ilmuwan kemudian menunggu hasil ujicoba terkontrol secara acak yang dilakukan di China dan AS.
Hasil ujicoba di China, yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet pada akhir April 2020, menunjukkan remdesivir tidak memiliki manfaat signifikan pada waktu pemulihan pasien.
Gagal di China
Disimpulkan obat itu gagal memperbaiki kondisi pasien atau mengurangi jumlah virus dalam tubuh mereka.
Tapi ujicoba ini berakhir lebih awal karena pandemi di Cina berhasil dikendalikan, dan peserta uji coba hanya berjumlah 237 orang.
Sementara hasil uji coba di AS menunjukkan pasien yang menggunakan obat ini pulih empat hari lebih cepat dibandingkan pasien lainnya.
Dalam uji coba yang melibatkan 1.063 pasien dan dilakukan oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), waktu yang dibutuhkan pasien untuk pulih adalah 11 hari dengan remdesivir dan 15 hari untuk pasien lainnya.
Menurut Direktur NIAID Dr Anthony Fauci, data menunjukkan bahwa remdesivir memiliki dampak positif yang jelas dan signifikan dalam mengurangi waktu pemulihan.
Dr Steven Tong dari RS Royal Melbourne mengaku heran melihat perbedaan hasil kedua ujicoba tersebut.
Di satu sisi, ujicoba di China tersebut telah dipublikasikan melalui peninjauan ahli lainnya serta memiliki metodologi yang kuat.
"Masalah utamanya yaitu sampelnya cukup kecil," kata Dr Tong, yang memimpin uji klinis obat virus corona pada Doherty Institute.
Sementara ujicoba di AS dengan ukuran sampel lima kali lebih besar, tidak mempublikasikan hasil penelitian mereka di jurnal ilmiah.
Stuart Tangye, pakar imunologi dari Garvan Institute of Medical Research, mengatakan meskipun penelitian di China tidak menemukan manfaat obat remdesivir, namun ada beberapa bukti pasien yang menggunakan obat ini yang cenderung membaik secara klinis.
"Jika Anda membaca yang tersirat dari apa yang dilaporkan penelitian di China, pesannya sangat mirip," kata Profesor Tangye.
Namun, bila menyangkut jumlah virus dalam tubuh (dikenal sebagai viral load), pasien yang memakai remdesivir tidak lebih baik daripada mereka yang berada dalam kelompok plasebo," kata Profesor Tangye.
Jumlah kematian tak menurun drastis
Profesor Lewin sependapat jika para peneliti berharap jumlah virus akan berkurang jika obat itu bekerja.
Tapi, katanya, hasil ujicoba ini dapat mencerminkan ketidakmampuan untuk mengukur SARS-CoV-2 secara akurat.
"Kita berasumsi remdesivir bekerja sebagai obat antivirus, tapi kita belum tahu cara yang tepat untuk menghitung virus pada ingus dan dahak," katanya.
Ia menambahkan, kapan waktu terbaik untuk memberikan obat sehingga memiliki manfaat paling besar, masih jadi pertanyaan.
Meski belum melihat bukti hasil ujicoba di AS, Profesor Tangye mengatakan tidak adanya penurunan drastis tingkat kematian di AS menunjukkan obat ini tidak akan secara dramatis meningkatkan pengobatan COVID-19.
"Jika obat ini benar-benar memiliki efek, seharusnya diterjemahkan ke dalam jumlah kematian yang lebih sedikit, menurunnya kasus yang parah. Itu semua tidak terlihat," katanya.
Dr Tong sependapat bahwa kurangnya perbedaan dalam tingkat kematian menunjukkan remdesivir tidak akan menjadi andalan utama dalam mengobati COVID-19.
Namun itu bukan berarti obat tidak memiliki potensi sama sekali.
Ketika melaporkan hasil ujicoba NIAID di Gedung Putih, Dr Fauci menyamakannya dengan momen di tahun 1996 "ketika berusaha membuat obat untuk HIV dan kami tidak punya apa-apa".
Dr Fauci adalah bagian dari tim yang menemukan obat pertama yang memiliki dampak sederhana terhadap HIV (virus penyebab AIDS) yang dikenal sebagai AZT, yang memicu terobosan dalam pengobatan.
"Kita sekarang memiliki kemampuan untuk mengobati (COVID-19) dan saya dapat menjamin karena semakin banyak orang, semakin banyak perusahaan, semakin banyak peneliti yang terlibat," katanya.
Profesor Lewin, salah satu otoritas terkemuka Australia tentang HIV dan AIDS, mengatakan dia sependapat dengan Dr Fauci.
"AZT memiliki efek yang sangat sederhana pada hasil klinis, dan tidak menunjukkan manfaat bagi kelangsungan hidup secara nyata," katanya.
"Tapi kemudian itu bekerja lebih baik begitu digunakan denagn obat lainnya," jelasnya.
"Jika remdesivir diibaratkan sebagai AZT-nya COVID-19, saat ini kita baru pada tahap pertama," katanya.
Sampai saat ini Australia belum menggunakan remdesivir dalam pengobatan COVID-19. Namun, laporan media menyebutkan sebanyak lima RS akan menerima obat eksperimental ini.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.