REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Kepala Keamanan Hong Kong, John Lee, mengatakan, terorisme sedang tumbuh di kota itu menyusul kembalinya demonstran di jalanan menuntut undang-undang keamanan nasional yang disiapkan China. "Terorisme berkembang di kota dan kegiatan yang membahayakan keamanan nasional, seperti 'kemerdekaan Hong Kong', menjadi lebih merajalela," kata dia itu dalam sebuah pernyataan.
Polisi menangkap lebih dari 180 orang pada Ahad (24/5). Petugas keamanan pun menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan demonstran antipemerintah yang berkumpul.
"Hanya dalam beberapa bulan, Hong Kong telah berubah dari salah satu kota teraman di dunia menjadi kota yang diselimuti bayang-bayang kekerasan," kata Lee.
Lee menegaskan, undang-undang keamanan nasional diperlukan untuk melindungi kemakmuran dan stabilitas kota. Sementara itu, demonstran menilai peraturan itu justru berbahaya karena akan memberikan pengaruh besar China terhadap Hong Kong.
Kerusuhan yang mengguncang Hong Kong kembali pada bulan ini setelah sempat terhenti karena penyebaran virus corona. Kerumunan orang memadati jalan-jalan Hong Kong dengan teriakan "kemerdekaan Hong Kong, satu-satunya jalan keluar", bergema di jalanan pada akhir pekan.
Seruan kemerdekaan menjadi problem bagi Pemerintah China yang menganggap Hong Kong sebagai bagian wilayah semiotonomnya. Kerangka kerja keamanan nasional baru yang diusulkan menekankan niat Beijing untuk mencegah, menghentikan, dan menghukum tindakan tersebut.
Selain bagian Keamanan, lembaga lain yang mengeluarkan pernyataan untuk mendukung undang-undang itu termasuk Komisaris Layanan Pemasyarakatan dan Bea Cukai Hong Kong. Sekretaris Keuangan, Paul Chan, menulis di blognya bahwa hukum keamanan nasional tidak memengaruhi kepercayaan investor, hanya ada kesalahpahaman yang terjadi.
"Pemerintah pusat telah mengatakan undang-undang ini ditujukan pada minoritas orang yang diduga mengancam keamanan nasional dan tidak akan memengaruhi hak-hak masyarakat umum," ujar Chan.
Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, dan lainnya telah menyatakan keprihatinan tentang undang-undang tersebut. Rencana itu secara luas dipandang sebagai titik balik potensial bagi salah satu pusat keuangan terkemuka dunia.