Senin 25 May 2020 12:34 WIB

Muslim Uighur Rindu Lebaran di Tanah Kelahiran

Banyak pelarian Muslim Uighur yang membentuk komunitas di Istanbul, Turki.

Unjuk rasa mendukung Muslim Uighur di Istanbul, Turki, Jumat (20/12).
Foto: Umit Bektas/Reuters
Unjuk rasa mendukung Muslim Uighur di Istanbul, Turki, Jumat (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Kota Istanbul di Turki, telah menjadi pusat diaspora terbesar di dunia untuk warga Uighur yang melarikan diri dari penganiayaan Pemerintah China. Di rumah Hayrı Gül, ada banyak yang harus dilakukan sebelum Idul Fitri (Bayram), liburan menandai akhir Ramadhan dimulai pada hari Sabtu (23/5).

Ada mi sangza tradisional untuk dipanggang, lalu dipuntir menjadi tali dan ditumpuk menjadi piramida. Pakaian khusus harus dicuci dan disetrika. Merayakan liburan Muslim pada Hari Raya Idul Fitri adalah kebebasan Gül dan empat anaknya yang tidak memiliki rumah di wilayah barat laut Cina Xinjiang.

Di tanah air Uighur, selama beberapa tahun terakhir pihak berwenang telah membatasi praktik budaya etnis minoritas dan mengubah seluruh wilayah menjadi sebuah negara polisi yang diawasi ketat, bahkan di dalam rumah mereka (mayoritas Muslim). Diperkirakan hingga satu juta orang telah menghilang ke kamp-kamp pendidikan ulang dalam upaya yang dikatakan Pemerintah Cina sebagai langkah yang diperlukan untuk membasmi ekstremisme.

Ketika keluarga tersebut melarikan diri dari tindakan keras Pemerintah China pada 2016, perempuan berusia 42 tahun ini terpaksa meninggalkan suami dan putra bungsunya, karena negara tidak akan mengeluarkan paspor mereka. Kontak dengan Gül dengan keluarganya terhenti akhir tahun 2016, dan dia tidak lagi tahu apakah mereka hidup atau mati. Tapi di Istanbul, Gül bersyukur bahwa setidaknya beberapa dari 12 juta penduduk Uighur yang kuat telah menemukan tempat untuk menjaga warisan budaya mereka tetap hidup.

Saya merindukan tanah air dan keluarga saya setiap hari. Saya banyak menangis karena rasa sakit,” kata Gül saat ditemui di rumahnya di lingkungan Zeytinburnu, Istanbul, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (25/5). “Saya suka hidup di Istanbul. Saya berharap mereka (suami dan anak) bisa berada di sini juga. Anak-anak saya memiliki kebebasan di sini yang tidak dapat kami bayangkan sebelumnya,” ucap Gül menambahkan.

Hubungan antara Uighur dan Turki telah berlangsung berabad-abad yang lalu: setelah dihubungkan oleh Jalur Sutra, orang-orang berbagi agama, ikatan budaya dan bahasa-bahasa Turki serupa. Orang-orang Uighur yang berperang untuk Kekaisaran Ottoman 'beristirahat' di kuburan Perang Dunia Kedua yang luas di Çanakkale atau Gallipoli; selama Revolusi Komunis di Cina pada 1940-an, Pemerintah Republik Turki mengakui negara Uighur Turkestan Timur yang ingin memisahkan diri, dan membuka pintu bagi para pengungsi.

Dalam beberapa tahun terakhir, Istanbul telah menjadi pusat diaspora terbesar di dunia untuk pengungsi Uighur. Komunitas di Turki berjumlah sekitar 50.000, yang sebagian besar tinggal di lingkungan Sefakoy dan Zeytinburnu di Istanbul. Sekitar 11.000, seperti keluarga Gul, telah tiba baru-baru ini setelah melarikan diri dari penganiayaan di rumah.

Di pengasingan, budaya Uighur telah berkembang dengan cara yang tidak mungkin di Xinjiang: beberapa penerbit, toko buku dan pusat kebudayaan yang seharusnya dilarang di Cina dibuka di Istanbul. Seniman dan intelektual memiliki platform dan audiens untuk pekerjaan mereka; lokakarya pemasaran, banyak yang dijalankan oleh kaum wanita, menjual pakaian tradisional dan peralatan rumah yang berwarna-warni.

Pendiri Nuzugum Family and Culture Association, Münevver Özuygur mengaku, merawat 210 keluarga, memberi anak-anak kesempatan untuk terhubung dengan warisan leluhur mereka dalam pelajaran bahasa Uighur, setelah sekolah kala ibu mereka bekerja di pusat tekstil.

"Hampir semua suami dan ayah mereka hilang di kamp," kata Özuygur. “Di sini kami memiliki rasa komunitas yang kuat dan membantu wanita menjadi mandiri secara finansial dan menjaga diri mereka sendiri.”

Kehidupan di Turki bukannya tanpa kesulitan-dan perasaan bahaya yang semakin meningkat. Sementara Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan adalah satu-satunya pemimpin dunia Muslim yang secara terbuka mengecam tindakan keras Cina terhadap minoritas Muslim sebagai 'genosida budaya'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement