REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden AS Donald Trump memberikan pernyataan bahwa Antifa adalah teroris domestik AS. Pernyataan itu didasari dugaan Trump bahwa Antifa menyebabkan rusuhnya demonstrasi kematian George Floyd. Namun siapa sebenarnya Antifa itu?
Dilansir di laman Aljazirah, Selasa (2/6), Antifa merupakan kependekan dari anti-fasis. Kelompok Antifa sebenarnya bukan sebuah kelompok konkret, melainkan sebuah gerakan amorf atau gerakan yang kurang jelas. Gerakan Anti-fasis cenderung dikelompokkan di pinggiran kiri spektrum politik AS. Para anggotanya banyak menggambarkan diri mereka sebagai sosialis, anarkis, komunis atau anti-kapitalis. Antifa merupakan gerakan tanpa markas besar, tanpa pemimpin, dan tidak ada ideologi yang jelas selain oposisi terhadap apa pun yang dilihat penganutnya sebagai gerakan sayap kanan atau fasis.
Banyak ahli mengatakan kelompok domestik seperti Antifa disamakan dengan organisasi teror asing karena ideologinya secara inheren tidak konstitusional. Hal itu karena setiap upaya mengekang gerakan antifa akan menemui hambatan dari mana harus memulainya.
Selain penentangan Antifa terhadap ideologi sayap kanan, ada beberapa hal yang disoroti oleh penganut gerakan Antifa bersama-sama. Beberapa fokus itu antara lain penyebab rusaknya lingkungan atau hak-hak kelompok masyarakat adat, dan juga hak-hak LGBT.
Sementara gerakan anti-fasis dapat ditelusuri kembali di Jerman dan Italia sebelum perang dunia kedua, kelompok AS yang pertama menggunakan kata "Antifa" dalam branding dirinya adalah Rose City Antifa (RCA). Kelompok itu didirikan pada 2007 di Portland, Oregon. Kelompok ini berdiri meskipun sebelumnya telah banyak kelompok menggunakan ideologi anti-fasis di AS selama beberapa dekade tanpa menggunakan branding.
RCA dan kelompok-kelompok lain yang sejenis, memiliki tujuan untuk mengganggu pertemuan dan upaya organisasi supremasi kulit putih dan sejenisnya. Gangguan itu dilakukan bila perlu menggunakan kekerasan.
Salah satu upaya tersebut terjadi pada 2012. Saat itu, penganut Antifa mengacungkan palu, tongkat bisbol, dan tongkat polisi menyerbu sebuah restoran di daerah Chicago. Mereka menyerang anggota supremasi kulit putih Illinois European Heritage Association yang tengah berkumpul. Lima dari penyerang menerima hukuman penjara karena peran mereka dalam perkelahian tersebut.
Kemenangan Donald Trump pada 2016 dalam pemilihan umum AS mendorong peningkatan aktivitas Antifa di AS. Para pengikut Antifa pun semakin yakin bahwa fasisme dan ideologi sayap kanan lainnya membuat terobosan baru dalam politik Amerika, jika Trump memimpin.
Mereka mendapatkan sorotan selama bentrokan antara supremasi kulit putih dan lawan mereka di Charlottesville, Virginia, pada Agustus 2017. Saat itu, seorang neo-Nazi menabrakkan mobilnya ke sekelompok anti-rasis yang kemudian menewaskan seorang pengunjuk rasa.
Antifa pun menjadi berita utama lagi selama protes publik di tahun yang sama di Portland, Oregon, dan Berkeley, California. Mereka memecahkan kaca jendela dan melemparkan bom molotov ke petugas penegak hukum untuk mencegah provokator sayap kanan Milo Yiannopoulos berbicara.
Sementara, anti-fasis mendapatkan perhatian paling besar atas perilaku kekerasan sesekali mereka. Banyak penganutnya juga menganjurkan cara-cara non-kekerasan untuk menyampaikan pesan mereka seperti menggantung poster, memberikan pidato, dan berbaris seperti pawai.