REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Komite Senat Amerika Serikat (AS) untuk Angkatan Bersenjata dilaporkan telah menyetujui amandemen guna menyediakan dana setidaknya 10 juta dolar AS buat keperluan uji coba nuklir jika diperlukan.
Hal itu pertama kali diterbitkan The Hill dalam laporannya pada Senin (15/6). Amandemen tersebut diperkenalkan oleh Senator Tom Cotton dan disetujui melalui pemungutan suara 14-13 pada pekan lalu. Proses tersebut dilakukan secara tertutup saat membahas Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA).
Pada Kamis pekan lalu, Komite Angkatan Bersenjata telah mengumumkan persetujuan NDAA 2020 dan merilis ringkasannya. Namun komite tersebut belum meluncurkan teks lengkap dari amandemen yang diadopsi dalam NDAA.
Menurut Direktur Eksekutif the Arms Control Association Daryl Kimball uji coba nuklir yang dilakukan AS tidak akan memajukan upaya pengendalian senjata nuklir, termasuk milik Rusia dan China. Tindakan demikian pun tidak dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk negosiasi.
"Sebaliknya, itu akan merusak moratorium uji coba nuklir secara de facto global, kemungkinan memicu pengujian nuklir oleh negara-negara lain, dan memicu perlombaan senjata nuklir baru di mana setiap orang akan kalah," kata Kimball seperti dikutip The Hill, dikutip laman Sputnik.
Kimball kembali mengingatkan adanya perjanjian PBB yang melarang pengujian senjata nuklir atau dikenal dengan Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty. Meskipun perjanjian itu belum berlaku karena tidak diratifikasi sejumlah negara, tapi kekuatan utama dunia, termasuk AS, telah mematuhi prinsip-prinsip dalam kesepakatan tersebut.
Pada 23 Mei lalu, Washington Post sempat memuat laporan yang menyebut bahwa para pejabat tinggi di pemerintahan Presiden Donald Trump telah membahas prospek untuk melakukan uji coba nuklir pertama negara itu dalam 28 tahun. Langkah itu bertujuan menekan China dan Rusia agar bersedia menegosiasikan kesepakatan pengendalian senjata nuklri trilateral.
Sebelumnya AS telah menyatakan komitmen untuk tidak hengkang dari perjanjian nuklir Strategic Arms Reduction Treaty (New START) yang dijalin dengan Rusia. Perjanjian itu telah berakhir pada Februari lalu.
Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Robert O'Brien mengungkapkan AS akan berupaya mengadakan negosiasi dengan Rusia. "Tidak, saya pikir tidak begitu. Kita akan mengadakan negosiasi dengan iktikad baik dengan Rusia tentang kontrol senjata nuklir," ucapnya saat ditanya apakah AS akan keluar dari perjanjian New START dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada 21 Mei lalu.
Dalam New START, AS dan Rusia dilarang mengerahkan lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, membatasi rudal, dan pengebom berbasis darat serta kapal selam yang mengirimnya. Namun Trump telah beberapa kali menuding Rusia tak mematuhi perjanjian tersebut.
Pada 7 Mei lalu, Trump sempat mengatakan bahwa AS berkomitmen terhadap kesepakatan pengendalian senjata yang efektif. Namun dia menginginkan hal itu tak hanya melibatkan AS dan Rusia, tapi juga Cina. Beijing telah menyatakan tak berniat terlibat dalam dikusi atau perjanjian seperti itu.