REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Amerika Serikat (AS) menyatakan keprihatinannya atas vonis bersalah dari pengadilan Manila terhadap jurnalis Filipina dalam kasus pencemaran nama baik di dunia siber.
Dalam keterangan persnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat Morgan Ortagus memberikan pernyataan. "Amerika Serikat menyuarakan keprihatinan atas putusan bersalah yang baru-baru ini dijatuhkan oleh pengadilan Manila terhadap jurnalis dan CEO Rappler Maria Ressa dan mantan peneliti Reynaldo Santos Jr dalam kasus pencemaran nama baik dunia maya,” ujar lembaga itu dalam keterangan persnya, pada Rabu.
Kalimat yang sama juga dikatakan oleh mantan menteri luar negeri AS Hillary Clinton yang mengecam vonis bersalah pengadilan Manila itu. “Kita harus dengan keras memprotes serangan terhadap pers. Ini serangan terhadap demokrasi,” cuit Clinton lewat Twitter.
Senin kemarin, hakim Pengadilan Negeri Manila Cabang 46 Rainelda Estacio-Montesa menjatuhkan hukuman pidana enam bulan hingga enam tahun penjara kepada Ressa dan Santos. Meski begitu, pengadilan mengizinkan keduanya untuk tetap bebas sambil menunggu banding dengan jaminan 400 ribu peso Filipina atau 8.000 dolar AS.
“Kami akan melawan segala bentuk serangan terhadap kebebasan pers,” ujar Ressa, kepada wartawan.
Kasus bermula dari gugatan pengusaha Wilfredo Keng pada 2017, terkait artikel Rappler soal dugaan hubungannya dengan hakim pengadilan tinggi Filipina. Artikel itu menyebutkan bahwa Keng meminjamkan mobil sportnya kepada Ketua Mahkamah Agung Renato Corona.
Artikel yang sama juga mengutip laporan intelijen yang mengatakan bahwa Keng tengah diawasi oleh Dewan Keamanan Nasional karena diduga terlibat dalam perdagangan manusia dan penyelundupan narkoba. Keng melayangkan gugatan itu dengan UU Pencemaran Nama Baik Lewat Siber yang kontroversial dan baru disahkan pada September 2012, empat bulan setelah tulisan itu tayang.
Kelompok HAM, para senator oposisi, dan organisasi jurnalis mengatakan putusan itu adalah bagian dari cara Duterte membungkam suara kritis. Beberapa waktu sebelumnya, Filipina juga menghentikan siaran ABS-CBN yang telah bertahun-tahun memperoleh ancaman penutupan dari Duterte.
Seperti Rappler, ABS-CBN juga sejak lama menayangkan berita kritis soal kampanye anti narkoba Presiden Duterte yang meminta polisi untuk menembak mati para pengedar dan pengguna obat terlarang itu. Kebijakan Presiden Duterte soal tembak mati itu juga memperoleh kritikan keras dari kelompok HAM dan lembaga internasional.
Amnesty Internasional mengatakan putusan terhadap Rappler adalah bagian dari tindakan keras Filipina yang lebih luas terhadap kebebasan pers.
https://www.aa.com.tr/id/dunia/as-nyatakan-prihatin-atas-vonis-pengadilan-filipina-terhadap-jurnalis/1879667