Kamis 18 Jun 2020 04:50 WIB

3 Keganjilan Perang Irak yang Dipaksakan Amerika Serikat

Banyak keganjilan dari invasi Irak oleh Amerika Serikat pada 2003.

Banyak keganjilan dari invasi Irak oleh Amerika Serikat pada 2003. Tentara Amerika di Irak
Foto: muslimdaily
Banyak keganjilan dari invasi Irak oleh Amerika Serikat pada 2003. Tentara Amerika di Irak

REPUBLIKA.CO.ID, Banyak keganjilan yang dapat kita konfrontasi dengan argumen utama AS untuk menyerang Irak pada 2003. 

Pertama, argumen bahwa Irak membangun kembali persenjataan pemusnah massal yang dapat mengancam perdamaian. Jika demikian, lalu apa motif AS menyerang Irak tahun 1998 sehingga tim Inspeksi PBB meninggalkan Irak sebelum tugasnya selesai. 

Baca Juga

Kedua, konsekuensi pernyataan AS bahwa rezim Saddam menyerang tetangganya dengan menggunakan senjata kimia. Lalu bagaimana mempertanggungjawabkan moral AS 1987 sampai 1989 yang bukan hanya mendukung Irak secara finansial namun juga militer di saat Saddam membunuhi orang-orang Kurdi dan menyerang Iran dengan senjata kimia? Dan bagaimana dengan pembangunan senjata nuklir di AS sendiri yang jauh lebih besar? 

Ketiga, memang benar rezim Saddam telah membunuh rakyatnya sendiri. Namun, bukankah jelas pula akibat sanksi ekonomi AS yang menyebabkan beribu-ribu rakyat Irak mati kelaparan dan sebaliknya semakin menguatkan posisi Partai Bath. 

Rolf Ekeus, mantan ketua Inspektur PBB di Irak (1991-1997), mengungkapkan di Financial Times (30 Juli 2002) bahwa pemeriksaan di Irak bagi AS bukan lagi sekedar untuk melakukan spionase, namun juga menekan, melaksanakan misi yang dapat memunculkan perlawanan Irak sehingga menciptakan situasi yang buntu dan berakhir dengan resolusi aksi militer (Le Monde Diplomatique, 09/02). 

Untuk mencoba memahami argumen-argumen yang dikemukakan AS saat ini, kita akan mengalami banyak kebuntuan logika. Sebab, alasan-alasan yang terkemuka sebenarnya hanya sebuah dalih dan propaganda, yang isinya berbeda dengan kulitnya. 

Apa yang disinyalir Rolf Ekeus dengan pernyataannya di atas telah cukup memberikan bukti bagaimana Bush sekarang akan tetap melaksanakan aksi militernya meskipun upaya diplomasi PBB-Irak cukup memunculkan keputusan yang positif. 

Ignacio Ramonet pada kolomnya di Le Monde Diplomatique (Maret 2002) menulis tentang tiga variabel yang dibungkus dalam istilah globalisasi. Negara-negara maju, khususnya AS, menggunakan tiga variabel ini untuk meloloskan kepentingan riil politiknya. 

Pertama, menyangkut kepentingan ekonomi. Konon alasan kuat AS menyerang Taliban bukan karena kedekatannya dengan Al Qaidah, melainkan karena sakit hati. Saat itu, jalur transportasi kilang minyak direncanakan dialirkan dari Turkmenistan melalui Afghanistan menuju Pakistan. Penanganannya diperebutkan banyak perusahaan minyak terkenal, salah satunya perusahaan AS, Unocal. 

Namun, tender penanganan ini dimenangkan oleh perusahaan minyak Bridas dari Argentina karena dapat menerima tawaran 22 persen keuntungan untuk dirinya. Kekalahan perusahaan Unocal tidak lain karena tuntutan keuntungannya sebesar 43 persen untuk perusahaan dan 57 persen untuk pemerintah Afghanistan. 

Johan Galtung (peraih Nobel Perdamaian) dalam wawancaranya di Tageszeitung mengatakan alasan utama penyerangan AS ke Irak tidak lain juga masalah persediaan minyak. Disebabkan adanya masalah dengan Arab Saudi, maka AS mencari basis baru untuk mendukung persediaan minyaknya. 

photo
Patung Saddam diruntuhkan di Baghdad pada 2003 - (Jarome Delay/ AP)

Selain merupakan negara kedua yang memiliki kilang minyak terbesar, Irak adalah negara yang mudah untuk dijadikan sasaran. AS berusaha untuk menjatuhkan Saddam dan berusaha menggantikannya dengan pemerintahan yang pro-AS. Jadi, motif utama AS adalah kepentingan ekonomi. 

Variabel kedua adalah ideologi. Variabel ini menerangkan pada variabel pertama, bahwa untuk mendukung lolosnya kepentingan-kepentingan ekonomi maka diperlukan sebuah media pendukung. 

Dengan dukungan universitas, institusi penelitian dan kekuatan media, ideologi ini memanipulasi kebenaran, menggiring manusia untuk mempercayai kebohongan sehingga tercipta dukungan-dukungan yang menguntungkan dirinya.

Kita masih ingat bagaimana CNN menayangkan gambar orang Palestina yang bersuka cita tidak lama setelah terjadi peristiwa hancurnya gedung WTC. Gambar yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan peristiwa WTC itu dijadikan CNN sebagai propaganda untuk menciptakan polaritas keadaan yang kemudian dapat memunculkan keputusan-keputusan strategis yang sesuai kepentingan mereka. 

Demikian halnya setelah Unocal mengalami kekalahan tender di Afghanistan. Tidak lama setelah itu muncul dalam CNN berita-berita mengenai pelecehan hak-hak asasi manusia di Afghanistan yang dilakukan Taliban. 

Media dijadikan alat penekan yang sangat efektif untuk menyerang sebuah negara atau kelompok yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Tentu kita masih ingat setelah 11 September, bagaimana media membahas tentang terorisme. 

photo
Foto seorang tentara Amerika Serikat sedang mengacungkan senjata ke jenazah pejuang Irak. - (the Dailymail)

Namun, setelah setahun berlalu, yang muncul di media hanya tentang AS yang di dalamnya berisi pesan-pesan suci Bush dalam perang melawan teroris. Dan, sekarang media sedang menggalakkan propaganda untuk menayangkan, membahas dan mengkaji wajah kontras istana kepresidenan Saddam yang terukir emas dengan rakyatnya yang sedang dilanda kelaparan. Tujuannya adalah membawa kita untuk mempercayai bahwa perang melawan Irak adalah sebuah tindakan yang benar. 

Pemutarbalikkan ini sangat membantu pembentukan opini publik sehingga tercipta kebohongan-kebohongan yang dipercaya.  

Jika dukungan publik yang disalurkan  media tidak juga membuat goyah pendirian, maka digunakanlah kekuatan militer. Inilah variabel ketiga, militer dijadikan alat pemaksa. Bisa dibilang abad 20 merupakan abad yang paling mengerikan dalam sejarah peradaban manusia, seperti apa yang diungkap Samantha Power pada tulisannya, Die Haltung der USA zum Volkermord (Komune, 6/2002).

Sejarah Holocaust yang seharusnya dapat dijadikan peringatan dan pembelajaran manusia ternyata nihil. Sebab, korban kemanusiaan masih tetap muncul setelah Perang Dingin, setelah berkembangnya kelompok pembela HAM, setelah munculnya tekhnologi, yang memudahkan terciptanya media komunikasi, dan setelah munculnya dialog antar kultur dan peradaban untuk memahami kompleksnya dunia ini.

Belum lama PBB mengkampanyekan era dialog itu, namun tidak lama kemudian muncul seorang presiden yang setiap saat mengkampanyekan perang. Kita dapat amati bagaimana Bush dalam setiap kesempatan berbicara tentang perang. Dengan dalih perang melawan teroris, semua negara yang dianggap tidak sehaluan diperanginya. 

Mungkin setelah Irak, akan muncul kandidat baru. Dan kita rasakan sendiri, bagaimana Indonesia sudah mendapat teror media. Mungkin saja suatu saat kita mendapat giliran selanjutnya. AS adalah negara demokratis yang sekaligus fasis. 

Korban yang jatuh akibat intervensi AS sejak perang dunia kedua berkisar 12-16 juta manusia (Tageszeitung, 28/29/09/02). Sebuah angka yang sangat wajar jika Deubler Gmelin, menteri kehakiman Jerman ketika itu, menyamakan Bush dengan Hitler. Dilihat dari aspek manapun, kebijakan AS menyerang Irak tidak dapat dibenarkan.

Semua alasan AS hanya dalih yang absurd. Penghormatan kepada martabat manusia abad ini mengalami penurunan paling tajam dari masa sebelumnya. Dan ini dikarenakan penyembahan terhadap materi yang luar biasa. 

 

*Artikel ini merupakan bagian dari artikel lengkap berjudul “Di Balik Perang AS-Irak” karya Luthfi Kamil, alumni Institut for Islam Study Hamburg Jerman, yang diterbitkan Harian Republika, 21 November 2020.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement