REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi pada Sabtu (20/6) mengatakan negaranya berhak untuk mengintervensi atau ikut campur dalam konflik di Libya. Al-Sisi pun memerintahkan tentaranya untuk siap menjalani misi di luar Mesir jika dibutuhkan.
Pernyataan itu disampaikan Sisi di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan karena intervensi Turki di Libya.
Sisi memperingatkan tentara yang loyal terhadap pemerintahan sementara Libya, sebagaimana dibentuk oleh perjanjian pemerintah nasional (GNA) pada 17 Desember 2015, di Tripoli agar tidak menyeberangi batas pertahanan Tentara Pembebasan Rakyat Libya (LNA) di wilayah timur.
LNA merupakan pasukan yang berada di bawah kendali Panglima Khalifa Haftar dan didukung oleh Mesir, Rusia, dan Uni Emirat Arab. Dukungan Turki ke pasukan GNA membuat posisi pemerintah unggul sekalipun LNA telah meluncurkan serangan selama 14 bulan ke Tripoli, ibu kota Libya.
"Segala bentuk intervensi dari Mesir telah mendapat legitimasi internasional," kata Sisi di hadapan warganya.
Pernyataan itu disampaikan Sisi setelah ia memeriksa pasukannya di pangkalan udara dekat perbatasan dengan Libya.
Ia mengatakan Mesir berhak mempertahankan wilayahnya setelah menerima ancaman langsung dari milisi teroris dan para tentara bayaran yang didukung sejumlah negara asing. Ia merujuk pada kelompok bersenjata yang mendukung pasukan pemerintah Libya (GNA) yang didukung Turki.
Sisi menjelaskan tujuan utama Mesir mengintervensi konflik di Libya, salah satunya untuk mengamankan perbatasan sepanjang 1.200 kilometer (746 mil) di wilayah barat, membantu mewujudkan gencatan senjata, memulihkan stabilitas dan perdamaian di Libya.
Sebelum berpidato, Sisi memberi sambutan saat bertemu beberapa pilot angkatan udara dan pasukan khusus militer di pangkalan udara tersebut. Kepada para tentara itu, ia menyampaikan: "Bersiaplah untuk menjalani misi, di sini di wilayah perbatasan kita - atau jika dibutuhkan, di luar perbatasan kita".
UAE dan Arab Saudi menyampaikan dukungannya kepada Mesir yang ingin melindungi perbatasan dan keamanan dalam negeri. Sejauh ini belum ada tanggapan dari GNA dan Turki. Awal bulan ini, Mesir mengajak pihak-pihak yang berkonflik untuk gencatan senjata.
Gencatan senjata merupakan bagian dari inisiatif Mesir yang juga mengusulkan dewan pemimpin untuk Libya. Meskipun rencana itu disambut oleh Amerika Serikat, Rusia, dan UAE, Turki menolak usulan Mesir. Turki menyebut rencana itu merupakan upaya menyelamatkan Haftar yang kalah perang.
Sisi pada Sabtu mengatakan Mesir selalu enggan ikut campur dalam konflik Libya. Ia mengatakan pihaknya menghendaki jalur politik untuk menyelesaikan maslah. Namun, ia menambahkan "situasinya saat ini berbeda".
"Jika beberapa orang berpikir mereka dapat menyeberangi perbatasan Sirte-Jufra, ini adalah peringatan keras untuk kami," kata dia di hadapan para tamu undangan, termasuk di antaranya pemimpin suku di Libya.
Sisi meminta dua pihak yang berkonflik untuk menghormati garis batas wilayah masing-masing dan kembali berunding. Ia mengatakan Mesir dapat menyediakan pelatihan dan senjata kepada suku-suku asli di Libya untuk memerangi milisi teroris.