REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Para siswa di sekolah-sekolah Afrika, harus belajar sementara melalui kelas daring di aplikasi seperti Zoom dan WhatsApp selama pandemi virus corona jenis baru (Covid-19). Namun, pada kenyataannya banyak dari mereka yang disebut semakin tertinggal, atau bahkan tak lagi bisa mendapatkan pendidikan selamanya, memperburuk kondisi di benua tersebut.
“Saya pikir pendidikan sekarang lebih bersifat darurat daripada masalah kesehatan,” ujar Mary Goretti Nakabugo, seorang ahli literasi yang menjalankan sebuah organisasi nirlaba pendidikan berbasis di Uganda bernama Uwezo, dilansir Al Arabiya, Senin (20/7).
Nakabugo mengatakan bahwa anak-anak di Afrika benar-benar tidak berdaya. Meski pandemi Covid-19 telah menganggu pendidikan di seluruh dunia, krisis pendidikan terjadi lebih parah di benua tersebut, di mana hingga 80 persen pelajar tidak memiliki akses internet dan listrik, membuat pembelajaran jauh menjadi sulit.
Badan pendidikan dan kebudayaan PBB mencatat wilayah sub-sahara Afrika telah memiliki tingkat tertinggi anak yang tidak bersekolah di mana pun di dunia. Dengan hampir seperlima anak-anak berusia antara 6 dan 11 tahun dan lebih dari sepertiga anak usia antara 12 dan 14 yang tidak hadir.
Namun, membawa siswa kembali ke sekolah juga dilengkapi dengan tantangan khusus di Afrika, di mana puluhan anak dapat memadati ruang kelas berukuran kecil. Badan amal Save the Children menyebut pandemi Covid-19 sebagai darurat pendidikan global terbesar saat ini, mengidentifikasi 12 negara di mana anak-anak berisiko sangat tinggi untuk putus sekolah selamanya, di mana sembilan dari mereka berada di Afrika sub-Sahara.
Dengan bantuan kelompok luar, pemerintah di sejumlah negara Afrika telah mengumumkan langkah-langkah untuk mendukung pembelajaran dari rumah. Tetapi banyak yang terhalang oleh kurangnya listrik dan konektivitas internet yang buruk. Bahkan surat kabar yang memasukkan bahan pembelajaran tidak terjangkau bagi banyak orang di wilayah ini.
Sebagai contoh, di Uganda, pendapatan per kapita tahunan kurang dari 800 dolar AS pada 2019. Pemerintah negara itu telah berjanji untuk mendistribusikan 10 juta radio dan lebih dari 130.000 perangkat TV bertenaga surya. Namun, pihak berwenang telah gagal untuk memenuhi janji-janji masa lalu, termasuk memberikan masker gratis kepada semua orang.
Sementara, di Kenya, sekolah dasar dan menengah akan tetap ditutup, meskipun perguruan tinggi dan lembaga pendidikan tinggi lainnya dapat dibuka kembali pada September mendatang. Itu berarti murid-murid Kenya akan mengulang tahun akademik, sebuah fenomena yang biasa disebut sebagai dead year atau tahun mati. Namun, efeknya tak akan terbatas pada gangguan akademik.
“Konsekuensi kritisnya mungkin terkait dengan kesehatan, air, dan gizi larena sekolah seringkali merupakan oase stabilitas,” tulis laporan dari Chr. Michelsen Institute di Norwegia.
Lembaga penelitian pembangunan mencatat bahwa penutupan sekolah dapat menghalangi siswa akses ke makanan dan program kesehatan, dan kadang-kadang air bersih dan sanitasi. Sekolah juga menyediakan tempat berlindung bagi anak-anak dari pekerjaan dan eksploitasi.
Penutupan yang lama juga bisa berarti banyak sekolah tutup demi kebaikan dan banyak guru berhenti, memperburuk kekurangan guru terburuk di dunia. Laporan media di Uganda mengutip pemilik sekolah yang ingin menjual properti mereka atau mengubah asrama menjadi unit sewaan untuk mengikuti pembayaran pinjaman.
Asosiasi guru Uganda setempat mendesak pihak berwenang untuk mempekerjakan guru cuti sebagai tutor di desa. Di Senegal, pejabat pendidikan berusaha membuat anak-anak tetap belajar dengan menyiarkan beberapa kelas di televisi setelah sekolah tutup pada bulan Maret, sebuah langkah yang bertujuan menjangkau siswa tanpa akses internet di rumah. Tetapi, listrik sering terbatas di wilayah pedesaan.
"Potensi teknologi digital sangat besar. Tetapi, di banyak tempat orang terpaksa melakukan perjalanan jarak jauh hanya untuk memiliki cukup untuk mengisi daya ponsel mereka,” kata Djibril Tall, seorang guru di wilayah Louga, Senegal.
Bagi banyak orang di Afrika, kembali ke sekolah mungkin sangat sulit. Di Zimbabwe, di mana di banyak sekolah hingga 70 siswa dapat memadati sebuah ruangan kecil, pemerintah menunda pembukaan kembali bertahap yang dijadwalkan akan dimulai bulan ini.
Serikat guru telah memperingatkan bahwa rencana semacam itu berbahaya di sekolah yang tidak memiliki masker wajah, pembersih tangan, dan air bersih. Bahkan, di Afrika Selatan, ekonomi paling makmur di benua itu, pemerintah telah menghadapi kritik atas keputusan untuk membuka kembali sekolah, meskipun jumlah kasus Covid-19 semakin banyak.
Sejak sekolah dibuka kembali pada Juni, setidaknya 650 siswa dan guru dinyatakan positif Covid-19 di provinsi Gauteng, pusat ekonomi negara itu dan memaksa 71 sekolah harus ditutup lagi. Banyak sekolah swasta di seluruh Afrika menawarkan bimbingan pelajaran secara daring. Tetapi di daerah miskin dan pedesaan, anak-anak lebih cenderung menghabiskan hari-hari mereka bermain-main atau mengurus rumah.
Sementara beberapa orang tua membayar ratusan dolar sebulan untuk anak-anak mereka menghadiri kelas daring, yang lain membayar lebih sedikit untuk guru untuk mengajar langsung di halaman belakang rumah pribadi. Tetapi, tak sedikit yang tidak mampu memberikan metode apapun.
“Saya bahkan tidak mampu membeli roti. Di mana saya akan mendapatkan uang untuk les privat ini? ” kata Maud Chirwa, seorang ibu di pinggiran Kuwadzana di Ibu Kota Harare, Zimbabwe.