REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Irak akan mempercepat jadwal pemilihan umum. Perdana Menteri Irak, Mustafa al-Kadhimi, mengumumkan bahwa pemilihan parlemen berikutnya akan diadakan hampir setahun lebih awal. Rencananya, pemilihan umum (pemilu) akan digelar pada Juni 2021.
"Pada 6 Juni 2021, telah ditetapkan sebagai tanggal pemilihan legislatif berikutnya. Segala sesuatu akan dilakukan untuk melindungi dan memastikan keberhasilan jajak pendapat ini," kata al-Khadimi dalam pidato yang disiarkan televisi pada Jumat, dilansir di Aljazirah, Sabtu (1/8).
Pemilu berikutnya sedianya dijadwalkan pada Mei 2022. Namun, protes dan kerusuhan yang berlangsung selama berbulan-bulan telah memaksa pemimpin sebelum al-Khadimi agar mengundurkan diri. Kendati begitu, parlemen Irak masih harus meratifikasi tanggal pemilihan tersebut.
Al-Khadimi sendiri mulai menjabat pada Mei 2020 lalu. Pemilu di Irak sempat dirusak oleh kekerasan dan seringkali oleh penipuan.
Namun, pemilihan lebih awal ini merupakan tuntutan utama para pemrotes anti-pemerintah. Mereka menggelar demonstrasi massal selama berbulan-bulan sejak Oktober 2019. Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan di Baghdad dan di wilayah selatan.
Ratusan orang dari para demonstran terbunuh oleh pasukan keamanan dan orang-orang bersenjata yang dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok bersenjata.
Mereka menuntut pembubaran sistem politik saat ini. Sebab, mereka menilai sumber korupsi besar berasal dari kepentingan sektarian. Mereka menuduh elite politik, terutama para legislator, menghambur-hamburkan kekayaan minyak di Irak untuk memperkaya saku mereka sendiri.
Al-Khadimi ditunjuk untuk menjabat sebagai perdana menteri pada April 2020 lalu, beberapa bulan setelah pendahulunya Adel Abdul Mahdi mengundurkan diri. Abdul Mahdi menjadi perdana menteri yang pertama kali mengundurkan diri sebelum akhir masa jabatannya sejak invasi yang dipimpin Amerika Serikat dilancarkan di Irak pada 2003.
Pemerintahan Abdel Mahdi mengusulkan kepada parlemen sebuah undang-undang pemilu yang baru, yang kemudian segera disahkan tahun lalu. Namun, menurut diplomat dan para pakar, bagian yang merinci prosedur pemilihan dan batas-batas daerah pemilihan belum diselesaikan.
Oleh karena itu, tidak jelas apa peran komisi pemilu Irak, yang kerap dituduh melakukan bias dalam mengatur pemilu. Sementara itu, para aktivis juga menuntut pemilihan yang lebih adil dan perubahan terhadap proses pemungutan suara Irak dan komite pemilihan. Tuntutan itu datang setelah adanya tuduhan kecurangan dalam pemungutan suara nasional terakhir pada 2018.
Jumlah pemilih dalam pemilihan terakhir Irak adalah 44,5 persen. Namun, di beberapa daerah Muslim Syiah di selatan yang miskin, jumlah pemilih sangat rendah. Banyak warga Irak mengatakan mereka tidak percaya pada sistem pemilihan Irak.
Kini, pemerintahan sementara al-Khadimi menghadapi krisis kesehatan dengan adanya penyebaran cepat dari virus corona. Tidak hanya itu, Irak juga menghadapi krisis fiskal karena rendahnya pendapatan dan ekspor minyak, serta adanya tantangan dari kelompok-kelompok bersenjata yang kuat yang melakukan perlawanan terhadapnya.