REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK — Militer Amerika Serikat (AS) mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa insiden ledakan di Ibu Kota Beirut, Lebanon adalah sebuah serangan. Sebelumnya, Presiden Donald Trump mengaku mendapat informasi dari beberapa sumber di Pentagon (Departemen Pertahanan) bahwa peristiwa yang terjadi merupakan serangan.
Dalam briefing media di Gedung Putih pada Selasa (4/8), Trump menggambarkan ledakan yang terjadi di Pelabuhan Beirut sebagai serangan yang mengerikan. Saat ditanya apakah itu adalah hasil serangan suatu pihak, ia menjawab bahwa insiden bukanlah sejenis kecelakaan.
“Saya telah bertemu dengan beberapa jenderal besar dan mereka sepertinya merasa bahwa itu bukan semacam jenis ledakan manufaktur. Mereka tampaknya menganggap itu serangan, semacam bom,” ujar Trump dalam wawancara, seperti dilansir TASS, Rabu (5/8).
Pada saat yang sama, sumber-sumber di Departemen Pertahanan AS mengatakan bahwa tidak mengetahui mengenai pernyataan Trump. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa jika ada indikasi siapa pun di kawasan itu menarik sesuatu dari skala ini, Washington akan mengambil tindakan tambahan untuk melindungi pasukan dan properti di wilayah tersebut. Sejauh ini, tidak ada instruksi yang dikeluarkan oleh Pentagon.
Ledakan dahsyat mengguncang area Pelabuhan Beirut pada Selasa (4/8) kemarin. Dampak dari insiden tersebut mencapai sejumlah area perumahan di Ibu Kota Lebanon itu.
Gelombang kejut dari ledakan dilaporkan menghancurkan dan merusak puluhan bangunan dan mobil. Menurut data awal, ledakan itu disebabkan oleh ledakan sejumlah besar amonium nitrat, yang disimpan di pelabuhan setelah disita dari sebuah kapal pada 2015.
Sejauh ini, setidaknya 78 orang dikatakan tewas dan lebih dari 4.000 terluka di dalam insiden. Mulai Rabu (5/8) hari ini, status darurat dua minggu telah diberlakukan di Beirut, yang dinyatakan sebagai kota dilanda bencana.