REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Ketika pemerintah Lebanon mencari solusi internasional dan domestik untuk menghadapi krisis ekonominya saat ini, ledakan tragis di Pelabuhan Beirut telah menambah beban berat bagi negara yang sudah kelelahan.

Pada Selasa (4/8), ledakan besar di Beirut telah menewaskan sedikitnya 135 orang dan sekitar 5.000 lainnya terluka. Ledakan juga menyebabkan kerusakan luas di kota dan pinggirannya. Ledakan itu telah meningkatkan kepedihan bagi negara yang mengalami krisis ekonomi yang parah dan polarisasi politik yang parah, dalam sebuah adegan di mana aktor-aktor regional dan internasional saling menyalahkan.

Pelabuhan Beirut adalah tempat pengiriman dan transfer terbesar di Lebanon, di mana sekitar 70 persen dari lalu lintas perdagangan yang masuk dan keluar lewat pelabuhan tersebut, menurut website pelabuhan. Pada 1887 silam, pelabuhan tersebut difungsikan sebagai pelabuhan kliring dan pengiriman yang terorganisir setelah pemerintah Ottoman memberikan konsesi pelabuhan kepada perusahaan milik Ottoman.

Pelabuhan itu terletak di area strategis yang menghubungkan pasar perdagangan Asia, Eropa dan Afrika, yang mengurangi durasi pelayaran navigasi komersial dibandingkan dengan rute lainnya. Pelabuhan itu memiliki koneksi langsung dengan 56 pelabuhan di tiga benua, serta bekerja sama dengan 300 pelabuhan lainnya di seluruh dunia untuk menerima dan mengekspor barang.

Pada 2018, Pelabuhan Beirut memuat sekitar 7,05 juta ton barang, mewakili 72 persen dari total impor barang di laut, dibandingkan dengan ekspor yang hampir satu juta ton, mewakili 78 persen dari total volume ekspor. Dalam upaya cepat oleh pemerintah Lebanon untuk mengurangi kerugian, Dewan Pertahanan Tertinggi di Lebanon merekomendasikan untuk mempersiapkan pelabuhan Tripoli di Lebanon utara untuk mengambil alih pelayaran komersial untuk impor dan ekspor.

Ikuti Whatsapp Channel Republika