REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Hampir 60 ribu akun telah menandatangani petisi yang menyerukan agar Lebanon ditempatkan di bawah mandat Prancis selama 10 tahun ke depan. Langkah tersebut menyusul ledakan besar yang mengguncang ibu kota Beirut pada Selasa (6/8).
Petisi itu menyerukan pemberian mandat untuk Prancis karena krisis politik dan ekonomi yang saat ini terjadi di Lebanon. Kondisi terpuruk negara tersebut diklaim akibat elite penguasa.
"Pejabat Lebanon dengan jelas menunjukkan ketidakmampuan total untuk mengamankan dan mengelola negara," kata petisi tersebut.
"Dengan sistem yang gagal, korupsi, terorisme dan milisi, negara baru saja menghembuskan nafas terakhir. Kami percaya Lebanon harus kembali di bawah mandat Prancis untuk membangun pemerintahan yang bersih dan berlangsung lama," tulis keterangan petisi, dikutip dari middleeastmonitor.
Petisi itu dimulai setelah Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengunjungi Beirut dan berjalan di sepanjang jalanan paling rusak di dekat lokasi ledakan. Dia ditemani oleh Presiden Lebanon, Michel Aoun.
Ratusan orang berkumpul untuk menyambut dan memohon kepada Macron agar mengirim bantuan langsung ke LSM seperti Palang Merah Lebanon daripada melalui politisi yang mereka yakini korup. Protes di pusat kota Beirut pun terjadi sambil menyerukan pemerintah saat ini untuk mundur.
Lebanon menderita krisis ekonomi terburuk dalam sejarah negara itu dan sedang berjuang untuk memerangi pandemi virus Corona. Bagi banyak orang, ledakan besar 2.750 ton amonium nitrat adalah pukulan terakhir.
Amonium nitrat tiba di Beirut pada 2013 di atas kapal kargo berbendera Moldavan yang berhenti tidak terjadwal karena masalah teknis. Kepala bea cukai pelabuhan kemudian memohon kepada hakim untuk mengekspor kembali atau menjual bahan peledak itu, tetapi permohonan itu tidak dikabulkan.