REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha menyebut para mahasiswa pengunjuk rasa telah bertindak terlalu jauh dengan menuntut 10 poin reformasi monarki, yang dianggap sakral dalam budaya konservatif negara itu. Sementara, kata ia, kondisi masyarakat banyak dalam kesulitan.
"Ada banyak orang dalam kesulitan menunggu masalah mereka diperbaiki, bukan hanya anak muda. Jadi, apakah melakukan semua ini pantas? Ini benar-benar berjalan terlalu jauh," kata Prayuth, Selasa, tanpa mengomentari secara langsung tuntutan reformasi kerajaan.
Sekitar 3.000-4.000 pengunjuk rasa meneriakkan "hidup demokrasi" di Universitas Thammasat di pinggiran Bangkok pada Senin malam (10/8).
Pidato disampaikan para pengunjuk rasa yang menyerukan pengunduran diri Prayuth, yang pertama kali mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014, dan mengakhiri dominasi militer dalam politik.
Namun, pengunjuk rasa dari Kelompok Pro-Demokrasi Universitas Thammasat juga mengeluarkan 10 poin seruan untuk reformasi monarki. Mereka menjadi kelompok protes mahasiswa ketiga yang melanggar tabu selama puluhan tahun untuk mempertanyakan peran dan kekuasaan raja.
Thailand memiliki undang-undang "lese-majeste" yang ketat yang melarang penghinaan atau pencemaran nama baik raja, yang dapat dihukum hingga 15 tahun penjara. Pejabat Istana menolak mengomentari protes mahasiswa atau kritik apapun terhadap monarki.
Prayuth, mantan panglima angkatan bersenjata Thailand, mengatakan kepada wartawan bahwa dia telah menyaksikan protes itu dan sangat prihatin.
Pada Juni, Prayuth memperingatkan pengunjuk rasa agar tidak melibatkan monarki dalam protes mereka, tetapi Raja Maha Vajiralongkorn, yang naik takhta setelah kematian ayahnya pada 2016, telah memintanya untuk tidak menangkap siapa pun di bawah undang-undang "lese majeste".
Monarki tetap menjadi subjek sensitif dalam masyarakat Thailand. Protes Senin lalu memicu pernyataan publik dari Universitas Thammasat yang meminta maaf atas unjuk rasa tersebut.
Dikatakan bahwa meskipun universitas mendukung kebebasan berekspresi, universitas tidak membenarkan "beberapa referensi tentang monarki yang memengaruhi perasaan masyarakat", dan bahwa tindakan hukum akan diambil.
Tuntutan baru para mahasiswa termasuk pembalikan perintah 2019 yang memindahkan dua unit tentara ke komando pribadi raja, dan undang-undang 2017 yang memberinya kendali penuh atas kepemilikan properti kerajaan yang luas.