REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pakar hak asasi manusia PBB mengatakan kepada China bahwa undang-undang keamanan baru untuk Hong Kong melanggar hak-hak fundamental warga, Jumat (3/9). PBB prihatin bahwa undang-undang itu dapat digunakan untuk menuntut aktivis politik di bekas koloni Inggris ini.
Dalam surat bersama yang jarang dipublikasikan ini, badan tersebut mengatakan ketentuan undang-undang baru tampaknya merusak kemerdekaan hakim dan pengacara Hong Kong, dan hak atas kebebasan berekspresi. Surat tersebut memuat analisis hukum terperinci dari undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan di Hong Kong pada 30 Juni.
Surat setebal 14 halaman itu diunggah di situs web kantor hak asasi manusia PBB setelah 48 jam dikirimkan ke China. Surat itu dikirim atas nama pelapor khusus PBB tentang perlindungan hak asasi manusia dan melawan terorisme, Fionnuala Ni Aolain, dan enam pakar PBB lainnya.
Para ahli independen mengatakan tindakan hukum tersebut tidak sesuai dengan kewajiban hukum China di bawah hukum internasional. "Kurang presisi dalam hal-hal utama, (dan) melanggar hak-hak fundamental tertentu," ujar surat bersama itu.
"Tidak boleh digunakan untuk membatasi atau membatasi kebebasan fundamental yang dilindungi, termasuk hak untuk berpendapat, berekspresi, dan berkumpul secara damai," ujar pernyataan dalam surat tersebut.
Kelompok itu juga menyatakan keprihatinannya bahwa banyak kegiatan yang sah dari para pembela hak asasi manusia di Hong Kong akan didefinisikan ulang sebagai ilegal. Mereka mendesak China untuk menjelaskan rencananya menegakkan yurisdiksi ekstra-teritorial yang terkandung dalam undang-undang baru tersebut. Hal ini diperlukan untuk memastikan aturan itu mematuhi perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang ditandatangani oleh Beijing.
Undang-undang mengizinkan segala hal yang dipandang China sebagai subversif, separatis, terorisme, atau kolusi dengan pasukan asing dapat dihukum hingga seumur hidup di penjara. Pihak berwenang di Beijing dan pusat keuangan mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk memastikan stabilitas dan kemakmuran Hong Kong.
Para kritikus mengatakan, undang-undang tersebut semakin mengikis kebebasan luas yang dijanjikan kepada Hong Kong saat kembali ke pemerintahan China pada 1997 di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem".